mai, tolong yach…pinta Ida sambil terisak. Iya…pasti, tenang saja serahkan semua sama temenmu ini, hiburku.
Sungguh aku benar-benar tidak tega dan selalu tidak tega mendengar Ida menangis. Permintaan yang hampir sama setiap kali Ida minta tolong padaku. Kadang aku merasa keberatan harus menyelesaikan tiap masalah yang tidak ada hubungannya denganku apalagi masalah dengan lawan jenis. Tapi demi karibku yang satu ini apapun aku lakukan sebisaku asal Ida tidak menangis lagi. Ida temanku sejak kami sama-sama duduk dibangku SMU. Kami sekolah di sebuah sekolah dengan sistem asrama maka hampir tiap saat aku bisa bertemu Ida. Walaupun dulu aku tidak terlalu dekat dengannya tapi entahlah sejak kami lulus SMU, Idalah yang sering menghubungiku. Saling bertanya kabar, tiap punya masalah akulah orang pertama yang Ida cari. Dengan senang hati aku mendengar apa saja keluhannya. Karena rumah kami masih satu propinsi, tidak perlu mengeluarkan biaya terlalu banyak untuk saling telepon. Mungkin itulah alasan kenapa kami makin dekat setelah lulus SMU. Orang tua Ida sering melarang Ida keluar rumah, maka tak segan akulah yang datang kerumah Ida jika dia memintaku. Aku tidak pernah rela siapapun menyakitinya, pernah suatu kali aku melabrak seorang cowok cuma gara-gara Ida merasa dipermainkan, padahal sesungguhnya aku tahu, cowok itu hanya menganggap Ida teman biasa. Tapi aku tidak perduli, bagiku aku hanya ingin membuat Ida baik-baik saja. Ida selalu bilang padaku “kamu berani ya mai”. ah…tidak Ida, sebenarnya saat aku melabrak cowok itu atau tiap kamu memintaku untuk membantumu, aku harus mengumpulkan seluruh keberanianku. Kadang aku juga sangat ingin menjadi tidak sekuat yang kamu lihat.
Kembali lagunya creed berjudul one last breath berbunyi dari ponselku. Aku suka sekali lagu itu, kujadikan lagu itu sebagai nada panggil di ponsel kesayanganku karena petikan gitarnya yang menurutku easy listening meskipun lagu bergender rock. Kulihat layar kecil di ponselku, ada nama Ardi disana. Huh…dia lagi, sungutku sedikit kesal walau dalam hatiku merasa ada sebuah kemenangan, telah membuat cowok itu penasaran. Sudah jam sebelas malam lewat masih saja dia belum tidur. Cowok itu benar-benar penasaran kelihatannya. Berkali-kali teleponnya tak kujawab, smsnya juga aku abaikan. Sebenarnya aku malas berhubungan dengan cowok itu, klo bukan karena sahabatku aku tak akan rela buang-buang waktu untuk cowok yang tidak aku kenal. Keesokan hari setelah sholat subuh kucoba menghubunginya, sekalian membangunkan untuk sholat subuh yach…hitung-hitung cari pahala pikirku. Halo…terdengar suara serak diseberang menjawab panggilan teleponku setelah 3 kali bunyi nada sambung. Ardi udah sholat subuh belum? Tanpa salam terlebih dulu, aku bertanya. Hemmm….Nana yach? Kenapa semalam gak balas smsku? Tanya Ardi selanjutnya. Maaf aku sudah tidur. Sholat subuh dulu gih!! ntar aku telepon lagi. Lalu buru-buru kututup teleponku. Selang kurang lebih sepuluh menit, nada panggil dari ponselku berbunyi, ternyata Ardi. Dengan senyum mengembang aku menjawab teleponnya. Selanjutnya kami terlibat percakapan seru seperti pagi-pagi sebelumnya. Sudah seminggu ini Ardi rajin meneleponku, sms tiap saat. Sebenarnya aku merasa berdosa karena aku berbohong padanya. Aku sudah berjanji tidak akan membocorkan rahasia ini.
Mai gimana?, tadi ardi telpon kamu nggak? Ngomong apa aja dia? Pasti dia bohong lagi ya? Pertanyaan Ida memburuku untuk cepat-cepat menjawab. Kujawab semua pertanyaan Ida, aku ceritakan semua yang aku bicarakan sama Ardi. Tiap ba’da maghrib Ida melepon, memintaku bercerita apasaja yang telah aku bicarakan dengan Ardi lewat telepon seharian ini. Jujur saja Aku senang bercakap-cakap dengan Ardi meskipun hanya lewat telepon. Kami saling cerita apasaja, keluarga, teman, pekerjaan, masa lalu, semuanya. Kupikir asyik juga berteman sama cowok itu. Suatu kali dia cerita tentang Ida, deg…jantungku berhenti sejenak, tapi kucoba biasa saja. Na, jangan-jangan kamu temennya si ida ya? Ardi bertanya padaku dengan nada curiga. Enggak…aku gak kenal Ida. Dengan gugup aku menjawab pertanyaan Ardi. Kembali Ardi mengajukan bertubi-tubi pertanyaan kepadaku seperti sedang mengintrogasi seorang pencuri. Sebisaku, aku menjawab dengan kebohongan. “Maaf Ardi”, bisikku lirih.
Mai, jangan-jangan ntar kamu suka sama ardi, suara Ida begitu khawatir. Mana mungkin da…he is not my type, kataku menenangkan. Walaupun ardi suka bohong dan kekanakan tapi aku suka. Ujarnya kepadaku. Aku tahu da…
Aku mulai terbiasa dengan telepon-telepon Ardi yang tiap hari, bahkan aku selalu menunggunya, atau jika Ardi tidak menelponku, aku yang mencoba menghubunginya. Berkali-kali Ardi memintaku untuk bertemu dengannya, dan berkali-kali pula aku mencari alasan untuk menolak permintaannya. Aku belum siap bertemu dengan orang yang telah aku bohongi. Maafkan aku ardi!!
“Hari sabtu ba’da Sholat Ashar di Masjid Al-Akbar”. Aku berjanji untuk menemuinya. Akhirnya Aku mengabulkan permintaan Ardi. Beberapa menit setelah kutulis sms, janjiku sama Ardi. Lagu creed favouriteku berbunyi, tanpa kulihat nomor siapa yang memanggil, aku jawab panggilan dari ponselku. Assalamualaikum…salamku untuk si penelpon Wa’alaikum salam…ternyata Ida, tanpa menyebut namanya aku tahu itu Ida, aku hafal sekali suaranya. Ada apa da? Tanyaku. Mai, berhentilah berhubungan dengan Ardi. Tiba-tiba Ida berkata dengan nada datar. Maksudmu? Tanyaku bingung. Sudahlah..akhiri semuanya, berhentilah berhubungan dengan ardi, klo dia telpon jangan dijawab, smsnya juga jangan dibalas. Sudah cukup. Kali ini suara ida agak meninggi. Tapi da…belum sempat aku meneruskan kata-kataku, Ida memotong ucapanku. Sudah mai, klo kamu memang mau berhubungan sama Ardi, silahkan tapi jangan sangkut pautkan aku.
Ida cemburu.
Aku sudah berjanji untuk menemui Ardi, dan janji adalah hutang. “Maafkan aku Ida”.
Setelah pertemuan itu, kukira Ardi akan kecewa denganku. Kukira Ardi akan berhenti menghubungiku karena ternyata aku tidak seperti yang ia harapkan. Dan tugasku selesai. Aku bisa bebas dari kebohonganku, aku bisa bebas dari obsesi Ida. Kemudian aku bisa tenang. Tapi semua perkiraanku meleset.
Gimana Na? Mau ta serius sama aku? Sudah kesekian kalinya Ardi mengajukan pertanyaan yang sama. Entah kenapa aku tidak bisa mengatakan “tidak”, padahal aku tahu pasti sahabatku sangat mencintainya. Tapi di, kita belum terlalu saling mengenal satu sama lain, jawabku. Ya udah kita kenalan, besok aku ke tempatmu. Kalimat Ardi memaksa . aku gak mau pacaran di, kembali aku beralasan. Aku juga gak ngajak kamu pacaran, aku mau kita hubungan serius. Ardi mematahkan alasanku. Baik, besok sore aku tunggu. Ada hal penting yang pengen aku bicarakan. Jawabku singkat. Tanpa salam kami akhiri pembicaraan. Ini kesempatanku untuk berterus terang padanya, aku akan bicara yang sebenarnya, mungkin memang akan melukainya tapi aku tidak ada pilihan lain. Kemudian aku akan bilang juga sama Ida, semoga Ida bisa mengerti.
Jam 16.18 sore Ardi tiba di kosanku. Kursi teras depan kosan yang di tata Ibu kos sama-sama menghadap satu arah, ada meja kotak tak terlalu besar yang memisahkan kedua kursi, membuat kami duduk agak berjauhan dan tidak saling berhadapan. Ini lebih nyaman karena aku tak harus melihat langsung wajah Ardi. Di tengah obrolan kami, berkali-kali aku mencuri pandang wajahnya. Semua kata-kata yang semalam aku susun untuk mengatakan kebohonganku, buyar. Menguap begitu saja. Aku tidak mampu mengatakan apapun mengenai kebohonganku yang kusimpan selama ini. Aku sungguh tak tega, melihat wajah dan sorot matanya yang tulus. Aku benar-benar tak tega. Hingga Ardi berpamitan untuk pulangpun, Aku masih belum mampu mengatakannya. “Maafkan aku Ardi!!” dalam hati.
Semenjak kedatangan Ardi sore itu, Ardi makin sering datang ke kosanku. Aku belum mampu untuk berterus terang. Aku masih terikat janji sama Ida untuk tidak mengatakan mengenai kebohonganku. Ida sendiri tidak lagi mau menghubungiku. Dan aku juga takut untuk menghubunginya. Kupikir aku akan menunggu beberapa waktu, menunggu amarah Ida reda. “Maafkan aku Ardi !!! maafkan aku Ida!!!!”
Petang itu, kami duduk berdampingan di sofa ruang tamu kosku, hanya ada jarak beberapa senti diantara kami. Jantungku berdegup kencang, darahku seakan mengalir deras, tubuhku panas dingin. duch…baru kali ini aku duduk sangat dekat dengan seorang pria di tempat sepi. Kebetulan semua teman-teman kosku sedang KKN (Kuliah Kerja Nyata). Hanya ada empat orang yang kos di sini. Dan semua tidak ada disini kecuali aku. Ibu kosku ada di rumah depan, walaupun kami satu rumah tapi rumah ini terbagi dua, rumah belakang khusus untuk anak-anak kos dan rumah depan atau rumah inti untuk Ibu kos dan keluarganya. Masih ada banyak kamar kosong sebenarnya, tapi entah kenapa tidak ada yang mau kos disini kecuali kami berempat. Mungkin karena fasilitas yang minim sesuai dengan harganya yang lumayan murah dibandingkan dengan rumah kos lain di sekitar sini. Disini daerah kampus, banyak kamar-kamar yang dikoskan dan rumah kontrakan. Semua teman kosku masih kuliah, Cuma aku satu-satunya anak kos yang sudah bekerja. Terlalu besar rumah ini untuk kutempati sendirian, kadang aku merasa takut sendiri saat waktu malam tiba. Sering aku minta keponakan Ibu kos untuk menemaniku tidur. Nana, boleh aku pegang tanganmu?, ardi mengagetkanku. Oh..emmm…aku gugup. Aku berharap kamu yang terakhir bagiku, mau ta klo aku melamarmu? Ardi menatapku lekat. Kueratkan tanganku dalam genggaman tangannya. Kubalas tatapannya. Kita menjalani semua dengan saling menghargai, Ardi. Hanya itu yang mampu aku ucapkan. “Allah… ampuni hamba!!! Maafkan aku Ida!!”
Kejadian sore itu menyadarkanku bahwa ada perasaan indah dihatiku ketika memikirkan ardi. Kutekadkan untuk harus jujur sama Ardi. Aku ingin kehidupanku selanjutnya tidak ada lagi kebohongan sekecil apapun. Aku harus bicara sama Ida. Kukumpulkan keberanianku untuk menghubungi Ida, Bismillahirrahmanirrahim…dengan tangan gemetar kutekan tuts-tuts nomor yang sudah kuhafal diluar kepala. Setelah kudengar telepon diangkat kuucapkan salam, Assalamualaikum…bisa bicara dengan Rosidah?. Dari siapa ini?, Ini pasti suara Ibunya Ida. Walaupun aku tidak pernah bercakap-cakap lama dengan beliau, tapi aku yakin ini suara Ibunya Ida. Karena hampir tiap kali aku telepon kerumah Ida, Ibunyalah yang sering menjawab teleponku terlebih dahulu sebelum di berikan pada Ida. Mai, bu!! Jawabku. Sebentar ya…Ibu Ida menyuruhku menunggu. Tak lama kemudian suara seseorang yang sangat aku kenal. Halo…siapa ini?. Aku da, mai. Dengan perasaan takut aku menjawab pertanyaan Ida. Ooo..kamu…ada apa? Tanya Ida dengan nada ketus. Da, maafkan aku. ucapku. Maaf untuk apa? Kamu masih berhubungan sama Ardi kan? Kata-kata Ida masih dengan nada ketus. Aku hanya terdiam. Aku tahu mai. Mungkin sekarang kamu sudah jadian sama Ardi. Ya kan? kalimat Ida kembali meluncur, tidak lagi ketus tapi terdengar meninggi. Aku masih terdiam. Untuk beberapa detik kami sama-sama diam. Da, maafkan aku. Kataku kembali, kali ini dengan suara sangat rendah. Tak terasa Air mataku mulai meleleh. Tapi kucoba untuk menahan isakanku agar tak ketahuan oleh Ida. Boleh aku berterus terang sama Ardi?. Terserah…klik Telepon ditutup. Aku masih terdiam menahan tangis di ruang wartel yang sempit dan makin sempit karena dadaku sesak, sesak sekali.
Kubaca sms dilayar ponselku, kata-kata penuh caci maki ditujukan padaku. Ida marah besar. Aku tahu akan begini jadinya. Berkali-kali sms hanya berisi caci maki untukku. Aku memang pantas mendapatkannya. Aku hanya bisa mebalas dengan kata “maaf”. Tidak ada yang bisa aku ucapkan saat ini kecuali, “maafkan aku Ida”. makian Ida tidak hanya berhenti di sms, Ida mengirimiku e-mail dua halaman penuh berisi tumpahan amarahnya. Bukan caci maki yang membuatku bersedih tapi karena Ida tidak mau lagi berteman denganku, dia tidak mau lagi melihatku. Dia memutuskan tali silaturrahim diantara kami. Persahabatan yang telah bertahun-tahun aku jaga, kini hancur sudah. Karena aku yang jahat, karena aku yang berkhianat. Karena kebodohanku. Aku mengerti sangat mengerti.
Ida tidak banyak berubah, teringat ketika dia marah sama salah seorang teman sekelas kami. Hanya karena masalah sepele, dia tidak mau memaafkan sampai kami hampir lulus dari SMU. Ida sangat sulit memaafkan. Apalagi masalah seperti sekarang ini mungkin butuh waktu beberapa tahun Ida akan bisa benar-benar memaafkan aku. Ida tidak lagi mau menerima telepon dariku.
Sudah hampir 3 jam aku menunggu Ardi. Dia berjanji akan datang kekosku malam minggu ini. Aku ingin mengatakan semua kebohonganku. Kucoba tuk menghubunginya tapi tak diangkat teleponku, sms juga tak di balas. Duch…aku mulai khawatir. Jangan-jangan terjadi apa-apa dengannya. Kuhubungi lagi, Alahamdulillah setelah nada sambung kelima akhirnya Ardi menjawab teleponku. Halo…kudengar suara Ardi seperti dalam keramaian. Ardi…kamu dimana? tanyaku khawatir. Apa?aku nggak dengar!! Suara ardi begitu keras. Bising sekali, mungkin ardi di tengah perjalanan. Kamu dimana? Kuulangi pertanyaanku, kali ini dengan suara yang amat keras. Dijalan, mau kerumah teman. Jawabnya. Lho… katanya kamu mau kesini!!! pokoknya aku tunggu kamu sekarang, ucapku kali ini dengan nada kesal. Lalu kututup telepon. Kuhempaskan tubuhku disofa ruang tamu kosku, aku bener-bener kesal. Aku paling tidak suka janji dibatalkan tanpa konfirmasi. Aku benci menunggu sekalipun yang kutunggu adalah orang yang sangat aku sukai. Apalagi aku korbankan waktuku untuk menunggu nenekku yang terbaring sakit di rumah sakit. Aku memilih kembali ke rumah kos hanya untuk bertemu dengan Ardi. Tapi ternyata orang yang kutunggu membatalkan janjinya. Aku sangat kesal. Beberapa menit kemudian aku sms Ardi, memberitahunya untuk tidak datang saja. aku menyesal telah memaksa Ardi untuk datang.
“Aku gak mau lagi serius sama kamu, sekarang kamu bebas cari cowok lagi”. Isi sms Ardi membuatku kaget. Masa cuma gara-gara masalah kemaren Ardi membuat keputusan sepihak begitu saja. Baru kali ini aku menjalin hubungan sangat serius dengan laki-laki. Dan aku sudah sangat yakin bahwa Ardi-lah yang akan menjadi imam dalam hidupku nantinya. Aku sedikit shock membaca sms ardi. Setelah membaca sms dari Ardi, kucoba menghubunginya, aku pengen tahu alasan kenapa dia membuat keputusan sepihak. Tapi kelihatannya Ardi tidak mau mengangkat teleponku. Kucoba kembali menghubunginya, tetap saja Ardi tidak menjawab teleponku. Sampai jari-jariku capek, tetap Ardi tidak mau menerima teleponku. Kuputuskan untuk memberinya waktu beberapa hari, mungkin Ardi sedang marah padaku. Hari kelima aku mencoba menelponnya lagi, tetap saja Ardi tidak mau menerima teleponku. Aku kehabisan kesabaranku, lalu kutelpon dia menggunakan nomor teman kosku. Ternyata Ardi menjawab teleponku, tentu saja karena dia tidak tahu kalau aku yang menghubunginya. Setelah kudengar suara “halo” , tanpa salam lansung saja aku bicara. Ardi, ini aku Nana. Kenapa kamu gak mau nrima teleponku?. Aku tahu semua kebohonganmu!!!. Aku tahu dari Ida. Aku hanya bisa menelan ludah mendengar ucapan Ardi. Memang Ida bilang apa?tanyaku. Semuanya, sudahlah aku nggak perlu mendengar penjelasanmu. Klo kamu minta maaf, aku sudah memaafkan. Sekarang kamu bebas. Kini mulutku seakan tak mampu berkata apa-apa lagi. “Tapi aku benar-benar mncintaimu dan teman-temanku disini memang memanggilku Nana, aku tidak pernah bohong kecuali mengenai Rosidah!!!”. Kalimatku hanya menggantung dikerongkongan.
Ardi benar-benar ingin menghapusku dari hidupnya. Ingin sekali aku menemuinya dan menjelaskan, agar dia mendengar dari mulutku sendiri, tapi Ardi tidak sedikitpun memberiku ruang untuk mengatakan kebohonganku. Ardi begitu kecewa denganku. Dulu kupikir Ardi akan mengerti dan memaafkan aku, karena dia mencintaiku. Tapi, kini aku mengerti. Ardi tidak benar-benar mencintaiku. Atau mungkin rasa itu dikalahkan oleh luka hatinya? Aku masih tidak mengerti.
Kutulis surat untuk pemuda yang sangat aku kasihi, dengan dada berdebar dan air mata yang bercucuran. Hanya untuk menjelaskan kebohonganku, itu saja. Aku tidak perduli ia percaya atau tidak. Jika memang sudah tidak ada lagi kepercayaan buatku, aku sangat mengerti. Aku telah membohonginya.
Sudah berjam - jam aku duduk di pinggiran pot besar pohon yang sengaja di tanam di areal Masjid termegah di Surabaya. Bukan sedang mengagumi bangunan yang berada tepat di depanku. Tapi sedang mengingat kembali waktu itu. Di bawah pohon inilah, di pinggiran pot besar inilah pertama kali aku bertemu dengan seorang pemuda baik yang mengajarkanku hidup sederhana. Tidak berpura-pura, apa adanya dan lucu. Yang membuat aku selalu bersemangat menjalani hari-hari, meskipun sesibuk dan sesulit apapun hariku. Masih segar ingatanku tentang kejadian setahun yang lalu. Dosa dan kesalahan yang mungkin tak termaafkan. Tapi sungguh aku bersyukur, aku mempunyai Rabb yang Maha Baik dan Maha Pengampun. Setelah kukirim surat itu, kuputuskan untuk meninggalkan kota kelahiranku dan berganti nomor ponsel agar tidak ada siapapun yang bisa menghubungiku selain keluarga dan teman-teman yang tidak ada hubungannya dengan Ardi dan Ida. Aku ingin mencintainya dengan caraku, aku hanya mencintainya, bukan obsesi untuk bersamanya. Bukan nafsu untuk mendapatkannya. Aku ingin mencintai keduanya hanya karena Allah yang Maha mencintai. Kini, setelah setahun berlalu, aku telah siap kembali lagi ke kota ini, walaupun aku belum siap bersilaturrahim dengan kedua orang yang telah aku lukai. Cinta itu masih tertanam di hati.
Buat sahabat baikku dan pemuda sederhana, maafkan aku
Tidak ada komentar:
Posting Komentar