Kamis, 16 Desember 2010

163 SURAT


A

nak kecil itu percaya, Ia dapat menulis Surat pada Allah. Katanya, Masa Tuhan Mahakuasa tak bisa baca? Masa Ia tak bisa kirim malaikat untuk ambil surat di kotak surat oranye di pinggir jalan? Masa Ia hanya mau mendengar orang yang sujud menyusun kata dalam do’a? Masa Ia tak bisa berkomunikasi secara tertulis? Masa di surga yang serba ada itu, nggak ada kantor pos?”
      Dan, anak itu menulis surat pada Allah, kapanpun ia ingin. Di dunia ini, hanya ia dan ibunya yang tahu kegiatan menulis surat itu. Di luar dunia, tentu Allah dan para malaikat-Nya. Yang ditulis macam – macam mulai dari pistol air yang diisi sirop strawberry hingga beda vitamin dan obat.
      Diantara topik – topik itu ada keluhan yang tak bisa ia simpan. Ngomong – ngomong, Allah, kenapa Allah ciptakan kaki kiri dan kananku berhadapan? Tidak lurus menghadap depan, seperti kaki orang kebanyakan? Tidakkah Allah tahu, itu membuatku sulit sekali bergerak.
      Anak itu tahu dari ibunya yang penyabar, selain tulang kakinya yang tumbuh mengecewakan, jantungnya tak sempurna. Dinding antar serambi dijantungnya bocor. Tentang jantung ini, ia tak tertarik, terlalu sulit untuk membayangkan seperti apa jantung itu. Apalagi, memebayangkan jantung itu punya dinding yang bocor.
      Ia juga pernah dengar, jantung bocor itu bisa berujung pada kematian. Kematian? Ah, seandainya itu terjadi, apa sih buruknya kematian? Bukankah si Luna juga mati? Jadi, mati itu artinya, bertemu si Luna, hemmmm lumayan.
“Ibu, ini surat hari ini. “
“Ya, nak “Ibunya mencium kedua pipinya.
“Jangan lupa di poskan. Aku sudah tiga minggu tak menulis surat. Nanti Allah mencari – cari aku. Ibu punya perangko? “
“ Masih nak, Ibu sudah siapkan “.
Sang anak menempelkan pipinya pada pipi sang ibu.
Ketika deru mobil membawa putranya menjauh, sang Ibu membuka amplop dan membaca.
Allah, gini, ya…
Tadi pagi Guru Agama bilang, Allah sang pencipta punya banyak karunia. Makanya ada orang bisa nyanyi kayak Krisdayanti, atau punya badan gede kayak Ade rai, terus, Guru Agama bilang, “ Allah  juga beri umat-Nya kecerdasan. Seperti, Lukman, sang juara kelas “. Mata Guru Agama ngeliatin aku. Mata temen-temen sekelas juga. Hemmmm tapi aku kepingin tahu, kenapa sich, waktu Allah kasih karunia ke aku, nggak tanya-tanya dulu? Biar aku bisa milih. Aku, sich sebenernya lebih kepingin bisa lari, daripada jadi juara kelas.
      Sang Ibu melipat surat itu dan membawanya kekamar. Dalam sebuah laci dikamar itu sudah tersimpan 149 surat dari anaknya kepada Allah. Ini surat ke-150. Sebagai Ibu, dia sering bertanya-tanya, berapa jumlah akhir surat itu. Tapi bulu lehernya yang sering berdiri serentak, membuat ia enggan. Hanya dua sebab yang akan menghentikan surat tersebut. Pertama, si bungsu akhirnya tahu bahwa suratnya tak pernah terkirim serta antara manusia dan Allah tak terjembatani oleh perangko, tapi oleh Iman. Kedua, ketika kebocoran diding jantung si bungsu membuatnya langsung bertemu Allah.
      Untuk yang kedua ini, ia tak berani membayangkan. Untuk yang kedua ini, ia tak pernah sepenuhnya pasrah. Untuk yang kedua, ia selalu lekas – lekas menutup matanya. Aku tahu ia hanya titipan. Tapi, titipkanlah lebih lama.
     
      Ibu, pulang, Aku sesak. Demikian bunyi teks sms yang muncul di ponselnya pagi ini. Lekas – lekas sang Ibu meninggalkan trolley yang penuh barang belanjaan dan menerobos antrean. Ibu datang, nak, Ibu datang. Dalam obrolannya dengan pengasuh sang anak. Ia menerangkan semua langkah yang harus dikerjakan. Nomor telpon Dokter Zaky, obat yang harus diambil, posisi bantal, air putih, lalu ini, lalu itu. Sepanjang jalan di panggilnya nama Allah. Sepanjang jalan di makinya mobil – mobil lain.
“Nak” dilihatnya bibir biru itu.
Ia melihat kedinding. Sepertinya dia melihat banyak orang berbaju putih berdiri di situ. Mengelilingi anaknya. Tapi, ketika ia kedipkan matanya, ternyata hanya satu orang. Dokter Zaky. Kemana orang banyak tadi?
“Sudah lebih baik, Ibu. Bisa kita bicara? ”
“Sebentar Dok” Diciumnya kening yang basah oleh keringat, dibereskannya anak rambut di sekitarnya. Putra tercintanya tampak kelelahan mencari udara untuk napasnya sendiri. Kalau saja Ibu bisa pinjamkan paru-paru Ibu, Nak!
“Sakit, sayang?”
“Enggak, Bu.” Bibir beku itu berusaha tersenyum.
“Ibu, aku nulis surat lagi. Ibu betul-betul mengirim Surat itu nggak, sich? ”
“Eh, kenapa?” Ibunya meremas jemari gugup.
“Kok, Allah nggak pernah bales?”
“Nak, Ibu kan pernah bilang, Allah tak akan balas.”
“Hemmmm…..aku lupa.”
Ibu tersenyum dan membelai rambut anaknya. Ditatapnya sepasang mata itu. Ibu mencintaimu, Nak. Ingat itu, ya.
“Ibu keluar sekarang, ya, sayang?”
Sang anak mengangguk. “Bu, kalau aku jadi Allah, aku pasti bales surat orang-orang. Kan kasihan orang dibiarin nunggu, apalagi, yang sakit kayak aku.”
Ibu tersenyum pada Dokter dan mengajaknya berlalu. Dokter mengatakan telah terjadi atrial septal defect. Artinya, ada kebocoran pada dinding di serambi jantung. Bocornya makin parah dari hari ke hari. Padahal, jantung memompa darah segar ke seluruh tubuh dan menerima darah kotor dari paruh-paruh. Dinding bocor itu membuat darah bersih dan darah kotor bercampur sehingga jantung bekerja makin keras. Makin keras. Makin keras. Hingga akhirnya kelelahan.
Sang ibu tak menangis, meskipun sangat ingin. Dipegangnya lengan Dokter. ” Bisakah Dokter katakan, kapan saat itu tiba?”
“Ibu, saya tidak ingin mendahului Allah. Berdo’alah untuk yang terbaik.”
Sang ibu hanya menatap. Tepekur. Anak itu, sembilan bulan bernafas bersamanya. Muncul di bumi dengan kaki berhadapan. Yang kiri jauh lebih kecil daripada yang kanan. Hatinya hancur. Tapi, suaminya berbisik, “Allah menitipkan makhluk tak berdaya pada kita, sepenuhnya karena cinta. Kakinya memang kecil dan rapuh, Aminah. Tapi, kaki karena otak memberi parintah. Mari kita isi kepalanya, Aminah, agar bisa menuntun kaki yang tak berdaya.” Kata-kata itu membuka mata hatinya yang terkatup.
Namun, ketika dijumpainya bibir si bungsu berwarna biru sepulang sekolah, kesabarannya habis. Apa lagi ini? Apal lagi? Dokter menyimpulkan, ada yang tak berfungsi baik pada jantungnya.
Ia habis akal. Limbung. Ia hukum dirinya sendiri. Tak ingin bertemu siapa-siapa. Tak percaya pada siapa-siapa. Hingga pukul satu dini hari, di dengarnya si bungsu berkata pada abangnya. “Sini, kukerjakan PR berhitungmu”. Dengan tekun ia mengerjakan tugas abang tersayangnya itu.
Setengah jam kemudian PR itu di periksa sang ibu yang keheranan. Ia tak menemukan kesalahan apa-apa. Diteleponnya sahabatnya yang psikolog.
Mereka bertemu dan didapatnya jawaban. “Aminah, anakmu luar biasa cerdas. Ia bisa jadi apa saja, asal kau sungguh-sungguh memperhatikannya.”
Lantas ia putuskan untuk menyusun keping hati dan jiwanya yang berserakan. Ia bangkit. Ia rangkul sang putra. Ia usap dadanya. Ia tahu disitu ada jantung yang dindingnya bocor. Ia usap kepalanya. Ia tahu disitu ada otak yang sinarnya menyala-nyala. Ia pandang kaki yang berhadapan dan kecil sebelah itu.
Tongkat akan menyelamatkannya. Anakku sungguh tak berbeda dari anak manapun. Ia sekadar lebih cerdas.
“Ibu.”
Sang ibu terlonjak dan segera kembali kekamar.
Anaknya tersenyum sambil melambaikan kertas putih. Ia mengambil dan membacanya dalam diam.
Tadi rasanya kita bertemu, ya? Bener nggak sich? Itu dimana, ya? Kayaknya aku sering kasitu. Tempatnya luas seperti lapangan basket sekolah Abang. Aku mau teriak, “Allah! Allah!” karena rasanya Allah deket banget, tapi, kok, aku nggak bisa lihat, ya? Aku mau pamerin handphone Ayah yang baru. Yang bisa motret, tuh. Ada kamera keciiiil, tapi, hebat banget! Kemaren aku potret si lucky ( anak si luna ) pakai itu. Biar Allah bisa suruh Malaikat ceritain ke si Luna, anaknya udah kayak apa sekarang …… udah segede apa ………
Sang ibu menggigit bibirnya.
“Betul. Nak? Kamu lihat Allah?” diguncangnya bahu anaknya perlahan.
“Kayaknya.”
“Lalu?”
“Lalu ……. Hemmmmm….Mbak Ijah nangis-nangis bangunin aku. Terus, aku merasa sesek banget. Terus, aku SMS Ibu.”
Pengalaman bertahun-tahun telah mengajarkan sang ibu bahwa senyuman bisa menahan jatuhnya air mata.
Sejak serangan terakhir, Sang anak makin jarang kesekolah. Surat-surat juga makin banyak. Karena, kadang-kadang ia menulis lebih dari sekali sehari.
Dalam suratnya ibunya menemukan banyak pertanyaan yang tak bisa ia jawab, seperti ini:
Allah,
Orang-orang selalu bilang, Engkaulah Sang Maha adil. Aku sering disebut-sebut sebagai contoh. Lihat si Lukman. Kakinya boleh pengkor, tapi otaknya ……… Allah memang Mahaadil, begitu kata orang-orang.
Tapi tadi Ibu cerita, Einstein yang pintar banget itu, kakinya biasa-biasa saja? Terus, Dokter Zaky yang sering masuk koran, kakinya juga nggak kayak aku?, ada juga, ya, orang sehat yang pinter. Terus, kenapa aku enggak? Mana adilnya, dong?
Ibu menyimpan surat itu di kamar yang sama. Di laci yang sama. Ibu menghitung surat-surat yang tertumpuk. Seratus enam puluh satu.
Pagi itu sang Ibu membangunkan ketiga putranya dengan kecupan, seperti biasa. Di depan ranjang si bungsu ia terpekur. Dada itu....Ya..Allah...dada itu tak bergerak. Ia mencium kening si bungsu sambil berharap perkiraannya salah. Dingin, sang Ibu memejamkan mata. Lekas-lekas ia memanggil suami dan kedua putranya dalam satu teriakan.
Sang Ayah datang dan lekas-lekas membenamkan kepala sang Ibu di dadanya. Di dada suaminya, wanita itu hanya menutup mata, menggigit bibirnya. Ia tidak menangis. Ia tidak bisa berbuat apa-apa.ia hanya merasakan tulang di sekujur tubuhnya hilang. Ia hanya seonggok daging yang lemas tak berdaya.
Beberapa jam kemudian banyak orang berdatangan. Mencium pipi, sang Ibu merangkulnya. Mengungkapkan ucapan duka cita. Ia seperti robot yang hanya bisa berkata ”terima kasih, do’akan Lukman. Terima kasih, do’akan Lukman”. Beratus-ratus bahkan beribu-ribu kali.
Dari antara tamu-tamu itu, Ijah sang pengasuh datang membawa sehelai kertas. ” Punya Lukman bu, saya lupa memberikan pada ibu”.
Sang Ibu duduk diam sebentar, membaca.
Aku hanya mau bilang, bosen nich minum obat. Pahit!! Lagian, kenapa sich aku musti minum obat melulu? Mati khan nggak apa-apa? Kita bisa bertemu. Bisa bercerita-cerita. Aku bisa lihat si luna. Trus aku nggak mesti ngerasain sesek lagi. Dokter Zaki nggak mesti ngebut dari rumah sakit. Kata orang baru mati, klo’ Allah panggil. Hemmm...jangan-jangan kemaren Allah panggil aku bisik-bisik ya? Kurang kenceng, kali? Aku kok nggak denger apa-apa? Nanti, klo’ Allah panggil aku lagi dan aku nggak dateng-dateng, sabar yah...itu artinya aku sedang nonton lord of the ring : the two tower. Aku suka banget. Aku tonton sepuluh kali. Di sana bisa nonton DVD nggak?
Tamu terus berdatangan. Seorang anak muda bertanya, ”Ibunya Lukman?” sang ibu mengangguk, alisnya mengeryit.
”Lukman bilang, kalau kangen dia, baca saja surat-suratnya”.
Sang ibu melongo. Di tatapnya orang itu tak brkedip. Diabaikannya semua tamu yang menyalaminya. Ia menatap tamu tadi, diantara tamu-tamu lain. Ia tersenyum padanya. Ketika ia selesai bersalaman dengan para pelayat, sang Ibu datang ketempat tamu itu duduk. Tapi, ia sudah tak ada.
Tiba-tiba sang Ibu sadar, ia tak bisa mengingat wajah orang itu. Sedikitpun. Tidak sedikitpun.
Tiga hari setelah kepergian anaknya, sang Ibu membuka laci di pinggir ranjangnya. Di sana ada tumpukan surat sang anak pada Sang Pencipta. Ia teringat anak muda yang sempat melayat. Ia percaya, orang itu malaikat, teman Lukman yang baru.
Ia mengeluarkan semua surat dan menghitungnya. Ada 163 amplop. Ia hafal isinya di luar kepala, sampai titik dan koma. Ia ingat di surat terakhir, yang ke-163, si bungsu menyebut The lord of the rings. Di bukanya surat itu, dan tertegun.

Allah,...
Tolong dong, kasih tahu Ibu, bohong itu dosa. Dosa artinya nyakitin hati Allah. Ibu selalu bilang kirim surat-surat aku. Padahal di simpan doang di laci. Tapi, Allah nggak usah marah sama Ibu. Biar tukang ngibul begitu, Ibu baik. Sayang sama Bapak dan Abang-abangku, apalagi sama aku. Kayaknya sich, Ibu tahu, bohong itu dosa. Cuma, barangkali, Ibu lupa....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar