Selasa, 28 Desember 2010

ISTIKHARA CINTA



Dani mengenal faizah sejak kecil. Gadis putih berkacamata itu adalah tetangganya sewaktu sang ayah berdinas di Aceh. Sebagai tetangga, hubungan orangtua dani dan faizah pun cukup baik. Tetangga yang baik lebih dekat daripada saudara kandung, mungkin ungkapan itu benar adanya.

Dani yang lebih tua 3 tahun pun sudah seperti kakak bagi faizah. Orangtua faizah percaya, dani dapat menemani faizah bermain. Si kecil itu memang tidak banyak teman, karena kondisi tubuh yang lemah dan sering sakit. Ibu dani, bu wiryo, sangat senang, karena gadis cilik itu sering main ke rumahnya. Seperti punya putri sendiri, katanya yang tak punya anak perempuan.

Setelah masa dinas sang ayah berakhir, dani kembali ke jawa tengah, bersekolah di sana dan melanjutkan kuliah di yogyakarta. Tak disangka, 3 tahun berselang, di tahun 2001, faizah ternyata melanjutkan kuliah di kota yang sama. Dia mencari kakaknya, dani, sebagai tempat bertanya. Alangkah senangnya orangtua faizah mengetahui dani bersekolah di kota yg sama. Rasa khawatir mereka akan lemahnya tubuh faizah agak terobati.

Faizah bukan gadis manja lagi. Ia juga sudah punya banyak teman di kampus. Dengan fisiknya yang lemah, ia tetap berjuang melakukan semuanya sendiri.

Dani mulai mengagumi faizah, bukan sebagai adik, namun sebagai perempuan yang pantas di jadikan pendamping hidup. Kuliahnya sebentar lagi selesai. Ia pun sudah mendapatkan pekerjaan sejak tahun ketiga kuliah.

Gayung bersambut. Faizah tidak keberatan berumahtangga sambil bersekolah.

“Ibu tidak setuju, dani”
Kalimat bu wiryo sungguh diluar dugaan dani. Bagaimana mungkin? Ibunya dulu sangat menyayangi faizah bagai putri sendiri. Hubungan dengan keluarga faizah pun tak beda dengan saudara. Bahkan bu wiryo pernah berkata ia mengagumi keluraga faizah yg mencerminkan keislaman, semangat dan kemandirian masyarakat aceh.
“ibu tak ingin kau menikah dengan perempuan yang lemah tubuhnya, nak”. Jawaban yg singkat dan menyakitkan. Apalagi itu keluar dr mulut sang ibu, orang yang paling dekat dihati dani. Tapi bagaimana ia bisa memilih? Hatinya sudah terpikat dengan gadis lembut dan keibuan itu. Namun, tak sampai hati ia menentang kehendak sang bunda yang begitu disayanginya.
“Ibu sayang faizah bagai putri sendiri, tapi ibu tak bs menerimanya sebagai menantu. Ibu tidak ingin seumur hidup kamu kerepotan dengan penyakitnya. Bisakah dia mengurusmu? Bisakah dia melahirkan anak-anakmu nanti? Sedikit-sedikit asmanya kambuh. Cape sedikit dia pingsan. Jantungnya, lambungnya, paru-parunya….menjadi istri bukan tugas yang mudah, ah…ibu tidak tega dengan masa depanmu, nak”. Kalimat itu keluar dari bibir bu wiryo. Dani mendengarnya, namun tatapannya kosong. Pikirannya kosong. Bagaimana ia harus berdiri di antara 2 cinta ini??

“tidak apa-apa, bang. Ibu benar, menjadi istri bukan tugas yg nudah”. Tak disangka, faizah malah tampak tegar menerima kabar dari dani. Ke mana gadis cilik yang cengeng dan manja itu sekarang? Ah, dani makin kagum dibuatnya.

“Beri aku waktu, faiz. Beri aku waktu untuk meyakinkan ibu”. Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut dani. Dani pun kaget dg kata2nya sendiri. Surga di telapak kaki ibu. Semula ia ingin menyerah. Tak mungkin ia menyakiti sang bunda demi seorang gadis yang memikat hatinya. Biarlah cinta mengalah. Tak berani ia menjauhi surga. Tapi, melihat gadis itu begitu tegar dan tawaduk, mungkin faizalah, bidadari surga lainnya.
Faizah tersenyum datar.

“meyakinkan ibu memang butuh waktu. Masalahnya apakah abang sendiri yakin dengan keputusan abang?”. Faizah mengenal dani sejak lama. Ia sudah tahu betapa cintanya dani pada sang bunda, betapa lembut hatinya. Bu wiryo adalah nafas bagi dani, kebahagiaannya, cintanya. Tak mungkin faizah merenggut cinta itu dr dani.
Dani terdiam.

Keyakinan? Ya, bagaimana dani bisa meyakinkan sang bunda sedangkan keyakinan itu tdk ada dlm dirinya sendiri? Kebingungan, kesedihan akan 2 cinta membawanya pada Sang Pemilik cinta. Dunia masih tertidur berselimut malam, saat dani membasuh kedua tangannya dengan wudhu. Dalam sunyi dani berdialog dengan Sang Pemilik, tempat kembali, dimana segala cinta bermuara.

Sekali, dua kali, dani berdialog dengan Sang Pemilik cinta. Membiarkan dirinya larut dalam doa dan pinta. Sehari, dua hari, seminggu, kadang wajah faizah muncul dalam lamunannya, begitu kuat, lalu pudar menyamar saat suara sang bunda menghentakkan khayalnya. Kebingungan masih menguasai. Dani sadar, dia bukan wali apalagi nabi. Tak berani ia mengartikan mimpi atau suara hati sebagai jawaban. Sadar bahwa setan masih bisa membisiki dari kanan dan kiri. Mengapa wajah faizah terus menguat? Atau, itu godaan setan agar ia membangkang? Ataukah itu sebuah jawaban? Ah, pusing dia!!

Dani menarik napas. Dia melangkah memasuki halaman kost faizah. Memencet belnya.
“faiz, aku belum menemukan jawaban untuk masa depan kita. Yang kutahu, hatiku mengatakan untuk tetap memperjuangkanmu. Biarlah, kamu kupertemukan lagi dengan ibu sebagai sobat lamaku, putrinya di aceh dulu. Itu kalau kau tidak keberatan”. Dani tak berani menatap wajah faiz saat berkata, ia merasa menjadi seorang pria yang plin plan.

“abang, bukankah aku juga putrinya sejak dulu? Aku juga kangen ingin silaturrahmi dengan ibu. Sesekali aku akan main ke semarang untuk menjenguk ibu”. Tanggapan faiz melegakan dani. Dia belum tahu jawaban atas istikharanya. Dia juga tak berani memberikan janji. Yang dia bisa hanyalah mempertemukan faiz dengan ibunya lagi. Dan membiarkan bundanya mengenali gadis berhati kuat itu lagi, bukan sebagai gadis lemah yang sakit-sakitan. Ya, dia akan berjuang untuk 2 cinta ini.

Tahun 2004, faizah menyelesaikan pendidikan diplomanya di yogyakarta. Sekembalinya ke aceh, dani melamar faiz di rumahnya. Bu wiryo akhirnya mengalah, mengijinkan dani menikahi gadis pilihannya. Meski setengah khawatir, bu wiryo luluh dengan kesungguhan dani. Upacara pernikahan mereka dilangsungkan awal januari 2005, setelah faizah sekeluarga dipastikan selamat dari badai tsunami.

Tahun 2005, beberapa bulan setelah pernikahan, bu wiryo terserang stroke. Saat itu, faizah menantu satu satunyalah yg merawat. Setiap kali ada teman yang menjenguk, bu wiryo selalu membangga-banggakan faizah yang setia merawat. Faizah, faizah dan faizah….betapa sayangnya ia pada faizah. Betapa beruntungnya ia bermenantukan anak yang berbakti. Betapa lezatnya masakan faizah. Lemahnya tubuh pun tak jadi penghalang bagi faizah untuk menjaga mertuanya, bergantian dengan dani dan ayahnya.

Malam itu dani baru pulang dari kantor. Dibukanya pintu kamar sang bunda. Faizah tertidur bersama bu wiryo. Dani menatap 2 perempuan yang begitu dicintainya. Teringat malam-malam penuh doa. Malam dimana ia bersujud tenggelam dalam istikharah, mencari jawaban pada Sang Pencipta. Bertanya-tanya kapan doanya akan terjawab. Bergulat dalam keraguan, ketidakpastian.

Saat itu, tidak ada tanda ataupun mimpi yang bisa ia tangkap. Hanya keyakinan untuk tidak berhenti berjuang hingga hari pernikahannya tiba. Sekarang dihadapannya bu wiryo tertidur lelap. Disampingnya, faizah tertidur di sofa, kelelahan setelah merawat ibunya. Dua cinta inilah jawaban atas doa doanya.


(Taken From, Istikhara Cinta by M. Shodiq Mustofa dkk)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar