Selasa, 28 Desember 2010

ISTIKHARA CINTA



Dani mengenal faizah sejak kecil. Gadis putih berkacamata itu adalah tetangganya sewaktu sang ayah berdinas di Aceh. Sebagai tetangga, hubungan orangtua dani dan faizah pun cukup baik. Tetangga yang baik lebih dekat daripada saudara kandung, mungkin ungkapan itu benar adanya.

Dani yang lebih tua 3 tahun pun sudah seperti kakak bagi faizah. Orangtua faizah percaya, dani dapat menemani faizah bermain. Si kecil itu memang tidak banyak teman, karena kondisi tubuh yang lemah dan sering sakit. Ibu dani, bu wiryo, sangat senang, karena gadis cilik itu sering main ke rumahnya. Seperti punya putri sendiri, katanya yang tak punya anak perempuan.

Setelah masa dinas sang ayah berakhir, dani kembali ke jawa tengah, bersekolah di sana dan melanjutkan kuliah di yogyakarta. Tak disangka, 3 tahun berselang, di tahun 2001, faizah ternyata melanjutkan kuliah di kota yang sama. Dia mencari kakaknya, dani, sebagai tempat bertanya. Alangkah senangnya orangtua faizah mengetahui dani bersekolah di kota yg sama. Rasa khawatir mereka akan lemahnya tubuh faizah agak terobati.

Faizah bukan gadis manja lagi. Ia juga sudah punya banyak teman di kampus. Dengan fisiknya yang lemah, ia tetap berjuang melakukan semuanya sendiri.

Dani mulai mengagumi faizah, bukan sebagai adik, namun sebagai perempuan yang pantas di jadikan pendamping hidup. Kuliahnya sebentar lagi selesai. Ia pun sudah mendapatkan pekerjaan sejak tahun ketiga kuliah.

Gayung bersambut. Faizah tidak keberatan berumahtangga sambil bersekolah.

“Ibu tidak setuju, dani”
Kalimat bu wiryo sungguh diluar dugaan dani. Bagaimana mungkin? Ibunya dulu sangat menyayangi faizah bagai putri sendiri. Hubungan dengan keluarga faizah pun tak beda dengan saudara. Bahkan bu wiryo pernah berkata ia mengagumi keluraga faizah yg mencerminkan keislaman, semangat dan kemandirian masyarakat aceh.
“ibu tak ingin kau menikah dengan perempuan yang lemah tubuhnya, nak”. Jawaban yg singkat dan menyakitkan. Apalagi itu keluar dr mulut sang ibu, orang yang paling dekat dihati dani. Tapi bagaimana ia bisa memilih? Hatinya sudah terpikat dengan gadis lembut dan keibuan itu. Namun, tak sampai hati ia menentang kehendak sang bunda yang begitu disayanginya.
“Ibu sayang faizah bagai putri sendiri, tapi ibu tak bs menerimanya sebagai menantu. Ibu tidak ingin seumur hidup kamu kerepotan dengan penyakitnya. Bisakah dia mengurusmu? Bisakah dia melahirkan anak-anakmu nanti? Sedikit-sedikit asmanya kambuh. Cape sedikit dia pingsan. Jantungnya, lambungnya, paru-parunya….menjadi istri bukan tugas yang mudah, ah…ibu tidak tega dengan masa depanmu, nak”. Kalimat itu keluar dari bibir bu wiryo. Dani mendengarnya, namun tatapannya kosong. Pikirannya kosong. Bagaimana ia harus berdiri di antara 2 cinta ini??

“tidak apa-apa, bang. Ibu benar, menjadi istri bukan tugas yg nudah”. Tak disangka, faizah malah tampak tegar menerima kabar dari dani. Ke mana gadis cilik yang cengeng dan manja itu sekarang? Ah, dani makin kagum dibuatnya.

“Beri aku waktu, faiz. Beri aku waktu untuk meyakinkan ibu”. Kalimat itu keluar begitu saja dari mulut dani. Dani pun kaget dg kata2nya sendiri. Surga di telapak kaki ibu. Semula ia ingin menyerah. Tak mungkin ia menyakiti sang bunda demi seorang gadis yang memikat hatinya. Biarlah cinta mengalah. Tak berani ia menjauhi surga. Tapi, melihat gadis itu begitu tegar dan tawaduk, mungkin faizalah, bidadari surga lainnya.
Faizah tersenyum datar.

“meyakinkan ibu memang butuh waktu. Masalahnya apakah abang sendiri yakin dengan keputusan abang?”. Faizah mengenal dani sejak lama. Ia sudah tahu betapa cintanya dani pada sang bunda, betapa lembut hatinya. Bu wiryo adalah nafas bagi dani, kebahagiaannya, cintanya. Tak mungkin faizah merenggut cinta itu dr dani.
Dani terdiam.

Keyakinan? Ya, bagaimana dani bisa meyakinkan sang bunda sedangkan keyakinan itu tdk ada dlm dirinya sendiri? Kebingungan, kesedihan akan 2 cinta membawanya pada Sang Pemilik cinta. Dunia masih tertidur berselimut malam, saat dani membasuh kedua tangannya dengan wudhu. Dalam sunyi dani berdialog dengan Sang Pemilik, tempat kembali, dimana segala cinta bermuara.

Sekali, dua kali, dani berdialog dengan Sang Pemilik cinta. Membiarkan dirinya larut dalam doa dan pinta. Sehari, dua hari, seminggu, kadang wajah faizah muncul dalam lamunannya, begitu kuat, lalu pudar menyamar saat suara sang bunda menghentakkan khayalnya. Kebingungan masih menguasai. Dani sadar, dia bukan wali apalagi nabi. Tak berani ia mengartikan mimpi atau suara hati sebagai jawaban. Sadar bahwa setan masih bisa membisiki dari kanan dan kiri. Mengapa wajah faizah terus menguat? Atau, itu godaan setan agar ia membangkang? Ataukah itu sebuah jawaban? Ah, pusing dia!!

Dani menarik napas. Dia melangkah memasuki halaman kost faizah. Memencet belnya.
“faiz, aku belum menemukan jawaban untuk masa depan kita. Yang kutahu, hatiku mengatakan untuk tetap memperjuangkanmu. Biarlah, kamu kupertemukan lagi dengan ibu sebagai sobat lamaku, putrinya di aceh dulu. Itu kalau kau tidak keberatan”. Dani tak berani menatap wajah faiz saat berkata, ia merasa menjadi seorang pria yang plin plan.

“abang, bukankah aku juga putrinya sejak dulu? Aku juga kangen ingin silaturrahmi dengan ibu. Sesekali aku akan main ke semarang untuk menjenguk ibu”. Tanggapan faiz melegakan dani. Dia belum tahu jawaban atas istikharanya. Dia juga tak berani memberikan janji. Yang dia bisa hanyalah mempertemukan faiz dengan ibunya lagi. Dan membiarkan bundanya mengenali gadis berhati kuat itu lagi, bukan sebagai gadis lemah yang sakit-sakitan. Ya, dia akan berjuang untuk 2 cinta ini.

Tahun 2004, faizah menyelesaikan pendidikan diplomanya di yogyakarta. Sekembalinya ke aceh, dani melamar faiz di rumahnya. Bu wiryo akhirnya mengalah, mengijinkan dani menikahi gadis pilihannya. Meski setengah khawatir, bu wiryo luluh dengan kesungguhan dani. Upacara pernikahan mereka dilangsungkan awal januari 2005, setelah faizah sekeluarga dipastikan selamat dari badai tsunami.

Tahun 2005, beberapa bulan setelah pernikahan, bu wiryo terserang stroke. Saat itu, faizah menantu satu satunyalah yg merawat. Setiap kali ada teman yang menjenguk, bu wiryo selalu membangga-banggakan faizah yang setia merawat. Faizah, faizah dan faizah….betapa sayangnya ia pada faizah. Betapa beruntungnya ia bermenantukan anak yang berbakti. Betapa lezatnya masakan faizah. Lemahnya tubuh pun tak jadi penghalang bagi faizah untuk menjaga mertuanya, bergantian dengan dani dan ayahnya.

Malam itu dani baru pulang dari kantor. Dibukanya pintu kamar sang bunda. Faizah tertidur bersama bu wiryo. Dani menatap 2 perempuan yang begitu dicintainya. Teringat malam-malam penuh doa. Malam dimana ia bersujud tenggelam dalam istikharah, mencari jawaban pada Sang Pencipta. Bertanya-tanya kapan doanya akan terjawab. Bergulat dalam keraguan, ketidakpastian.

Saat itu, tidak ada tanda ataupun mimpi yang bisa ia tangkap. Hanya keyakinan untuk tidak berhenti berjuang hingga hari pernikahannya tiba. Sekarang dihadapannya bu wiryo tertidur lelap. Disampingnya, faizah tertidur di sofa, kelelahan setelah merawat ibunya. Dua cinta inilah jawaban atas doa doanya.


(Taken From, Istikhara Cinta by M. Shodiq Mustofa dkk)

Senin, 27 Desember 2010

JAMUR KUAH KUKUS


Mushroom atawa jamur dalam bahasa indonesianya mempunyai banyak macam. Dan semua macam jamur saya sangat suka, salah satu makanan favourite saya, asal bukan jamur beracun aja hehehehe….tidak hanya karena enak rasanya tapi manfaat dari jamur juga luar biasa. kata beberapa sumber yang pernah saya baca, jamur bisa mencegah kanker.
Biasanya klo musim penghujan gini, jamur kuncup dan jamur bulan banyak tumbuh di belakang rumah saya. jadinya tiap pagi Ibu hunting jamur-jamur kesukaan saya itu. Kadang ampe dulu-duluan ama sepupu sebelah rumah. Nah…ini dia jamur kesukaan saya, masaknya cukup sederhana saja, tapi rasa waow….gak ada duanya. Blm pernah saya nemuin di daerah lain.

Bahan :
Jamur bulan/kuncup

Bumbu halus :
Bawang merah
Bawang putih
Terasi
Cabe rawit
Garam
Gula

Cara :
Cuci bersih jamur kemudian suwir-suwir. Campurkan bumbu dan jamur lalu bungkus dengan daun pisang, kasih sedikit air sebagai kuah. Lalu kukus selama 15-20 menit.

catatan : Jamur kuncup dan jamur bulan tidak bisa bertahan lama, jadi harus segera di panen dan langsung di masak, jika dibiarkan beberapa jam saja akan mengeluarkan belatung. tapi jika tidak sempat langsung memasaknya rendam di dalam air matang kemudian masukkan kulkas.

Minggu, 26 Desember 2010

SECUIL KISAH MASA LALU



mai, tolong yach…pinta Ida sambil terisak. Iya…pasti, tenang saja serahkan semua sama temenmu ini, hiburku.
Sungguh aku benar-benar tidak tega dan selalu tidak tega mendengar Ida menangis. Permintaan yang hampir sama setiap kali Ida minta tolong padaku. Kadang aku merasa keberatan harus menyelesaikan tiap masalah yang tidak ada hubungannya denganku apalagi masalah dengan lawan jenis. Tapi demi karibku yang satu ini apapun aku lakukan sebisaku asal Ida tidak menangis lagi. Ida temanku sejak kami sama-sama duduk dibangku SMU. Kami sekolah di sebuah sekolah dengan sistem asrama maka hampir tiap saat aku bisa bertemu Ida. Walaupun dulu aku tidak terlalu dekat dengannya tapi entahlah sejak kami lulus SMU, Idalah yang sering menghubungiku. Saling bertanya kabar, tiap punya masalah akulah orang pertama yang Ida cari. Dengan senang hati aku mendengar apa saja keluhannya. Karena rumah kami masih satu propinsi, tidak perlu mengeluarkan biaya terlalu banyak untuk saling telepon. Mungkin itulah alasan kenapa kami makin dekat setelah lulus SMU. Orang tua Ida sering melarang Ida keluar rumah, maka tak segan akulah yang datang kerumah Ida jika dia memintaku. Aku tidak pernah rela siapapun menyakitinya, pernah suatu kali aku melabrak seorang cowok cuma gara-gara Ida merasa dipermainkan, padahal sesungguhnya aku tahu, cowok itu hanya menganggap Ida teman biasa. Tapi aku tidak perduli, bagiku aku hanya ingin membuat Ida baik-baik saja. Ida selalu bilang padaku “kamu berani ya mai”. ah…tidak Ida, sebenarnya saat aku melabrak cowok itu atau tiap kamu memintaku untuk membantumu, aku harus mengumpulkan seluruh keberanianku. Kadang aku juga sangat ingin menjadi tidak sekuat yang kamu lihat.
Kembali lagunya creed berjudul one last breath berbunyi dari ponselku. Aku suka sekali lagu itu, kujadikan lagu itu sebagai nada panggil di ponsel kesayanganku karena petikan gitarnya yang menurutku easy listening meskipun lagu bergender rock. Kulihat layar kecil di ponselku, ada nama Ardi disana. Huh…dia lagi, sungutku sedikit kesal walau dalam hatiku merasa ada sebuah kemenangan, telah membuat cowok itu penasaran. Sudah jam sebelas malam lewat masih saja dia belum tidur. Cowok itu benar-benar penasaran kelihatannya. Berkali-kali teleponnya tak kujawab, smsnya juga aku abaikan. Sebenarnya aku malas berhubungan dengan cowok itu, klo bukan karena sahabatku aku tak akan rela buang-buang waktu untuk cowok yang tidak aku kenal. Keesokan hari setelah sholat subuh kucoba menghubunginya, sekalian membangunkan untuk sholat subuh yach…hitung-hitung cari pahala pikirku. Halo…terdengar suara serak diseberang menjawab panggilan teleponku setelah 3 kali bunyi nada sambung. Ardi udah sholat subuh belum? Tanpa salam terlebih dulu, aku bertanya. Hemmm….Nana yach? Kenapa semalam gak balas smsku? Tanya Ardi selanjutnya. Maaf aku sudah tidur. Sholat subuh dulu gih!! ntar aku telepon lagi. Lalu buru-buru kututup teleponku. Selang kurang lebih sepuluh menit, nada panggil dari ponselku berbunyi, ternyata Ardi. Dengan senyum mengembang aku menjawab teleponnya. Selanjutnya kami terlibat percakapan seru seperti pagi-pagi sebelumnya. Sudah seminggu ini Ardi rajin meneleponku, sms tiap saat. Sebenarnya aku merasa berdosa karena aku berbohong padanya. Aku sudah berjanji tidak akan membocorkan rahasia ini.
Mai gimana?, tadi ardi telpon kamu nggak? Ngomong apa aja dia? Pasti dia bohong lagi ya? Pertanyaan Ida memburuku untuk cepat-cepat menjawab. Kujawab semua pertanyaan Ida, aku ceritakan semua yang aku bicarakan sama Ardi. Tiap ba’da maghrib Ida melepon, memintaku bercerita apasaja yang telah aku bicarakan dengan Ardi lewat telepon seharian ini. Jujur saja Aku senang bercakap-cakap dengan Ardi meskipun hanya lewat telepon. Kami saling cerita apasaja, keluarga, teman, pekerjaan, masa lalu, semuanya. Kupikir asyik juga berteman sama cowok itu. Suatu kali dia cerita tentang Ida, deg…jantungku berhenti sejenak, tapi kucoba biasa saja. Na, jangan-jangan kamu temennya si ida ya? Ardi bertanya padaku dengan nada curiga. Enggak…aku gak kenal Ida. Dengan gugup aku menjawab pertanyaan Ardi. Kembali Ardi mengajukan bertubi-tubi pertanyaan kepadaku seperti sedang  mengintrogasi seorang pencuri. Sebisaku, aku menjawab dengan kebohongan. “Maaf Ardi”, bisikku lirih.
Mai, jangan-jangan ntar kamu suka sama ardi, suara Ida begitu khawatir. Mana mungkin da…he is not my type, kataku menenangkan. Walaupun ardi suka bohong dan kekanakan tapi aku suka. Ujarnya kepadaku. Aku tahu da…
Aku mulai terbiasa dengan telepon-telepon Ardi yang tiap hari, bahkan aku selalu menunggunya, atau jika Ardi tidak menelponku, aku yang mencoba menghubunginya. Berkali-kali Ardi memintaku untuk bertemu dengannya, dan berkali-kali pula aku mencari alasan untuk menolak permintaannya. Aku belum siap bertemu dengan orang yang telah aku bohongi. Maafkan aku ardi!!
“Hari sabtu ba’da Sholat Ashar di Masjid Al-Akbar”. Aku berjanji untuk menemuinya. Akhirnya Aku mengabulkan permintaan Ardi. Beberapa menit setelah kutulis sms, janjiku sama Ardi. Lagu creed favouriteku berbunyi, tanpa kulihat nomor siapa yang memanggil, aku jawab panggilan dari ponselku. Assalamualaikum…salamku untuk si penelpon Wa’alaikum salam…ternyata Ida, tanpa menyebut namanya aku tahu itu Ida, aku hafal sekali suaranya. Ada apa da? Tanyaku. Mai, berhentilah berhubungan dengan Ardi. Tiba-tiba Ida berkata dengan nada datar. Maksudmu? Tanyaku bingung. Sudahlah..akhiri semuanya, berhentilah berhubungan dengan ardi, klo dia telpon jangan dijawab, smsnya juga jangan dibalas. Sudah cukup. Kali ini suara ida agak meninggi. Tapi da…belum sempat aku meneruskan kata-kataku, Ida memotong ucapanku. Sudah mai, klo kamu memang mau berhubungan sama Ardi, silahkan tapi jangan sangkut pautkan aku.
Ida cemburu.
Aku sudah berjanji untuk menemui Ardi, dan janji adalah hutang. “Maafkan aku  Ida”.
Setelah pertemuan itu, kukira Ardi akan kecewa denganku. Kukira Ardi akan berhenti menghubungiku karena ternyata aku tidak seperti yang ia harapkan. Dan tugasku selesai. Aku bisa bebas dari kebohonganku, aku bisa bebas dari obsesi Ida. Kemudian aku bisa tenang. Tapi semua perkiraanku meleset.
Gimana Na? Mau ta serius sama aku? Sudah kesekian kalinya Ardi mengajukan pertanyaan yang sama. Entah kenapa aku tidak bisa mengatakan “tidak”, padahal aku tahu pasti sahabatku sangat mencintainya. Tapi di, kita belum terlalu saling mengenal satu sama lain, jawabku. Ya udah kita kenalan, besok aku ke tempatmu. Kalimat Ardi memaksa . aku gak mau pacaran di, kembali aku beralasan. Aku juga gak ngajak kamu pacaran, aku mau kita hubungan serius. Ardi mematahkan alasanku. Baik, besok sore aku tunggu. Ada hal penting yang pengen aku bicarakan. Jawabku singkat. Tanpa salam kami akhiri pembicaraan. Ini kesempatanku untuk berterus terang padanya, aku akan bicara yang sebenarnya, mungkin memang akan melukainya tapi aku tidak ada pilihan lain. Kemudian aku akan bilang juga sama Ida, semoga Ida bisa mengerti.
Jam 16.18 sore Ardi tiba di kosanku. Kursi teras depan kosan yang di tata Ibu kos sama-sama menghadap satu arah, ada meja kotak tak terlalu besar yang memisahkan kedua kursi, membuat kami duduk agak berjauhan dan tidak saling berhadapan. Ini lebih nyaman karena aku tak harus melihat langsung wajah Ardi. Di tengah obrolan kami, berkali-kali aku mencuri pandang wajahnya. Semua kata-kata yang semalam aku susun untuk mengatakan kebohonganku, buyar. Menguap begitu saja. Aku tidak mampu mengatakan apapun mengenai kebohonganku yang kusimpan selama ini. Aku sungguh tak tega, melihat wajah dan sorot matanya yang tulus. Aku benar-benar tak tega. Hingga Ardi berpamitan untuk pulangpun, Aku masih belum mampu mengatakannya. “Maafkan aku Ardi!!” dalam hati.
Semenjak kedatangan Ardi sore itu, Ardi makin sering datang ke kosanku. Aku belum mampu untuk berterus terang.  Aku masih terikat janji sama Ida untuk tidak mengatakan mengenai kebohonganku. Ida sendiri tidak lagi mau menghubungiku. Dan aku juga takut untuk menghubunginya. Kupikir aku akan menunggu beberapa waktu, menunggu amarah Ida reda. “Maafkan aku Ardi !!! maafkan aku Ida!!!!”
Petang itu, kami duduk berdampingan di sofa ruang tamu kosku, hanya ada jarak beberapa senti diantara kami. Jantungku berdegup kencang, darahku seakan mengalir deras, tubuhku panas dingin. duch…baru kali ini aku duduk sangat dekat dengan seorang pria di tempat sepi. Kebetulan semua teman-teman kosku sedang KKN (Kuliah Kerja Nyata). Hanya ada empat orang yang kos di sini. Dan semua tidak ada disini kecuali aku. Ibu kosku ada di rumah depan, walaupun kami satu rumah tapi rumah ini terbagi dua, rumah belakang khusus untuk anak-anak kos dan rumah depan atau rumah inti untuk Ibu kos dan keluarganya. Masih ada banyak kamar kosong sebenarnya, tapi entah kenapa tidak ada yang mau kos disini kecuali kami berempat. Mungkin karena fasilitas yang minim sesuai dengan harganya yang lumayan murah dibandingkan dengan rumah kos lain di sekitar sini. Disini daerah kampus, banyak kamar-kamar yang dikoskan dan rumah kontrakan. Semua teman kosku masih kuliah, Cuma aku satu-satunya anak kos yang sudah bekerja. Terlalu besar rumah ini untuk kutempati sendirian, kadang aku merasa takut sendiri saat waktu malam tiba. Sering aku minta keponakan Ibu kos untuk menemaniku tidur. Nana, boleh aku pegang tanganmu?, ardi mengagetkanku. Oh..emmm…aku gugup. Aku berharap kamu yang terakhir bagiku, mau ta klo aku melamarmu? Ardi menatapku lekat. Kueratkan tanganku dalam genggaman tangannya. Kubalas tatapannya. Kita menjalani semua dengan saling menghargai, Ardi. Hanya itu yang mampu aku ucapkan. “Allah… ampuni hamba!!! Maafkan aku Ida!!”
Kejadian sore itu menyadarkanku bahwa ada perasaan indah dihatiku ketika memikirkan ardi. Kutekadkan untuk harus jujur sama Ardi. Aku ingin kehidupanku selanjutnya tidak ada lagi kebohongan sekecil apapun. Aku harus bicara sama Ida. Kukumpulkan keberanianku untuk menghubungi Ida, Bismillahirrahmanirrahim…dengan tangan gemetar kutekan tuts-tuts nomor yang sudah kuhafal diluar kepala. Setelah kudengar telepon diangkat kuucapkan salam, Assalamualaikum…bisa bicara dengan Rosidah?. Dari siapa ini?, Ini pasti suara Ibunya Ida. Walaupun aku tidak pernah bercakap-cakap lama dengan beliau, tapi aku yakin ini suara Ibunya Ida. Karena hampir tiap kali aku telepon kerumah Ida, Ibunyalah yang sering menjawab teleponku terlebih dahulu sebelum di berikan pada Ida. Mai, bu!! Jawabku. Sebentar ya…Ibu Ida menyuruhku menunggu. Tak lama kemudian suara seseorang yang sangat aku kenal. Halo…siapa ini?. Aku da, mai. Dengan perasaan takut aku menjawab pertanyaan Ida. Ooo..kamu…ada apa? Tanya Ida dengan nada ketus. Da, maafkan aku. ucapku. Maaf untuk apa? Kamu masih berhubungan sama Ardi kan? Kata-kata Ida masih dengan nada ketus. Aku hanya terdiam. Aku tahu mai. Mungkin sekarang kamu sudah jadian sama Ardi. Ya kan? kalimat Ida kembali meluncur, tidak lagi ketus tapi terdengar meninggi. Aku masih terdiam. Untuk beberapa detik kami sama-sama diam. Da, maafkan aku. Kataku kembali, kali ini dengan suara sangat rendah. Tak terasa Air mataku mulai meleleh. Tapi kucoba untuk menahan isakanku agar tak ketahuan oleh Ida. Boleh aku berterus terang sama Ardi?. Terserah…klik Telepon ditutup. Aku masih terdiam menahan tangis di ruang wartel yang sempit dan makin sempit karena dadaku sesak, sesak sekali.
Kubaca sms dilayar ponselku, kata-kata penuh caci maki ditujukan padaku. Ida marah besar. Aku tahu akan begini jadinya. Berkali-kali sms hanya berisi caci maki untukku. Aku memang pantas mendapatkannya. Aku hanya bisa mebalas dengan kata “maaf”. Tidak ada yang bisa aku ucapkan saat ini kecuali, “maafkan aku Ida”. makian Ida tidak hanya berhenti di sms, Ida mengirimiku e-mail dua halaman penuh berisi tumpahan amarahnya. Bukan caci maki yang membuatku bersedih tapi karena Ida tidak mau lagi berteman denganku, dia tidak mau lagi melihatku. Dia memutuskan tali silaturrahim diantara kami. Persahabatan yang telah bertahun-tahun aku jaga, kini hancur sudah. Karena aku yang jahat, karena aku yang berkhianat. Karena kebodohanku. Aku mengerti sangat mengerti.
Ida tidak banyak berubah, teringat ketika dia marah sama salah seorang teman sekelas kami. Hanya karena masalah sepele, dia tidak mau memaafkan sampai kami hampir lulus dari SMU. Ida sangat sulit memaafkan. Apalagi masalah seperti sekarang ini mungkin butuh waktu beberapa tahun Ida akan bisa benar-benar memaafkan aku. Ida tidak lagi mau menerima telepon dariku.
Sudah hampir 3 jam aku menunggu Ardi. Dia berjanji akan datang kekosku malam minggu ini. Aku ingin mengatakan semua kebohonganku. Kucoba tuk menghubunginya tapi tak diangkat teleponku, sms juga tak di balas. Duch…aku mulai khawatir. Jangan-jangan terjadi apa-apa dengannya. Kuhubungi lagi, Alahamdulillah setelah nada sambung kelima akhirnya Ardi menjawab teleponku. Halo…kudengar suara Ardi seperti dalam keramaian. Ardi…kamu dimana? tanyaku khawatir. Apa?aku nggak dengar!! Suara ardi begitu keras. Bising sekali, mungkin ardi di tengah perjalanan. Kamu dimana? Kuulangi pertanyaanku, kali ini dengan suara yang amat keras. Dijalan, mau kerumah teman. Jawabnya. Lho… katanya kamu mau kesini!!! pokoknya aku tunggu kamu sekarang, ucapku kali ini dengan nada kesal. Lalu kututup telepon. Kuhempaskan tubuhku disofa ruang tamu kosku, aku bener-bener kesal. Aku paling tidak suka janji dibatalkan tanpa konfirmasi. Aku benci menunggu sekalipun yang kutunggu adalah orang yang sangat aku sukai. Apalagi aku korbankan waktuku untuk menunggu nenekku yang terbaring sakit di rumah sakit. Aku memilih kembali ke rumah kos hanya untuk bertemu dengan Ardi. Tapi ternyata orang yang kutunggu membatalkan janjinya. Aku sangat kesal. Beberapa menit kemudian aku sms Ardi, memberitahunya untuk tidak datang saja. aku menyesal telah memaksa Ardi untuk datang.
“Aku gak mau lagi serius sama kamu, sekarang kamu bebas cari cowok lagi”. Isi sms Ardi membuatku kaget. Masa cuma gara-gara masalah kemaren Ardi membuat keputusan sepihak begitu saja. Baru kali ini aku menjalin hubungan sangat serius dengan laki-laki. Dan aku sudah sangat yakin bahwa Ardi-lah yang akan menjadi imam dalam hidupku nantinya. Aku sedikit shock membaca sms ardi. Setelah membaca sms dari Ardi, kucoba menghubunginya, aku pengen tahu alasan kenapa dia membuat keputusan sepihak. Tapi kelihatannya Ardi tidak mau mengangkat teleponku. Kucoba kembali menghubunginya, tetap saja Ardi tidak menjawab teleponku. Sampai jari-jariku capek, tetap Ardi tidak mau menerima teleponku. Kuputuskan untuk memberinya waktu beberapa hari, mungkin Ardi sedang marah padaku. Hari kelima aku mencoba menelponnya lagi, tetap saja Ardi tidak mau menerima teleponku. Aku kehabisan kesabaranku, lalu kutelpon dia menggunakan nomor teman kosku. Ternyata Ardi menjawab teleponku, tentu saja karena dia tidak tahu kalau aku yang menghubunginya. Setelah kudengar suara “halo” , tanpa salam lansung saja aku bicara. Ardi, ini aku Nana. Kenapa kamu gak mau nrima teleponku?. Aku tahu semua kebohonganmu!!!. Aku tahu dari Ida. Aku hanya bisa menelan ludah mendengar ucapan Ardi. Memang Ida bilang apa?tanyaku. Semuanya, sudahlah aku nggak perlu mendengar penjelasanmu. Klo kamu minta maaf, aku sudah memaafkan. Sekarang kamu bebas. Kini mulutku seakan tak mampu berkata apa-apa lagi. “Tapi aku benar-benar mncintaimu dan teman-temanku disini memang memanggilku Nana, aku tidak pernah bohong kecuali mengenai Rosidah!!!”. Kalimatku hanya menggantung dikerongkongan.
Ardi benar-benar ingin menghapusku dari hidupnya. Ingin sekali aku menemuinya dan menjelaskan, agar dia mendengar dari mulutku sendiri, tapi Ardi tidak sedikitpun memberiku ruang untuk mengatakan kebohonganku. Ardi begitu kecewa denganku. Dulu kupikir Ardi akan mengerti dan memaafkan aku, karena dia mencintaiku. Tapi, kini aku mengerti. Ardi tidak benar-benar mencintaiku. Atau mungkin rasa itu dikalahkan oleh luka hatinya? Aku masih tidak mengerti.
Kutulis surat untuk pemuda yang sangat aku kasihi, dengan dada berdebar dan air mata yang bercucuran. Hanya untuk menjelaskan kebohonganku, itu saja. Aku tidak perduli ia percaya atau tidak. Jika memang sudah tidak ada lagi kepercayaan buatku, aku sangat mengerti. Aku telah membohonginya.
Sudah berjam - jam aku duduk di pinggiran pot besar pohon yang sengaja di tanam di areal Masjid termegah di Surabaya. Bukan sedang mengagumi bangunan yang berada tepat di depanku. Tapi sedang mengingat kembali waktu itu. Di bawah pohon inilah, di pinggiran pot besar inilah pertama kali aku bertemu dengan seorang pemuda baik yang mengajarkanku hidup sederhana. Tidak berpura-pura, apa adanya dan lucu. Yang membuat aku selalu bersemangat menjalani hari-hari, meskipun sesibuk dan sesulit apapun hariku. Masih segar ingatanku tentang kejadian setahun yang lalu. Dosa dan kesalahan yang mungkin tak termaafkan. Tapi sungguh aku bersyukur, aku mempunyai Rabb yang Maha Baik dan Maha Pengampun. Setelah kukirim surat itu, kuputuskan untuk meninggalkan kota kelahiranku dan berganti nomor ponsel agar tidak ada siapapun yang bisa menghubungiku selain keluarga dan teman-teman yang tidak ada hubungannya dengan Ardi dan Ida. Aku ingin mencintainya dengan caraku, aku hanya mencintainya, bukan obsesi untuk bersamanya. Bukan nafsu untuk mendapatkannya. Aku ingin mencintai keduanya hanya karena Allah yang Maha mencintai. Kini, setelah setahun berlalu, aku telah siap kembali lagi ke kota ini, walaupun aku belum siap bersilaturrahim dengan kedua orang yang telah aku lukai. Cinta itu masih tertanam di hati.

Buat sahabat baikku dan pemuda sederhana, maafkan aku

AKU INGIN MENJADI ISTRIMU


         Aku ingin menjadi istrimu,” pintaku pelan.
Tapi lelaki, tempat cintaku berlabuh setahun ini, bagai tak mendengar. Ia terjerat hari-hari yang sibuk. Pergi pagi, dan pulang ketika senja tiba. Tak jarang dini hari baru pintu rumahnya terdengar berderit.
Aku tahu, karena hampir tiap malam aku menunggunya. Kesetiaan, yang membuahkan kantung yang menggelap di bawah mataku.
“Kenapa matamu, Mia? Makin hari makin tak bersinar saja. Jangan terlampau sering bergadang”.
Ibu, seperti yang juga lain, tak pernah mengerti alasanku berjaga tiap malam. Tak ada yang memahami apa yang kutunggu. Kecuali Andy, tempat cintaku bersandar. Ia tak pernah sekalipun menyinggung soal mataku yang kian cekung. Mungkin karena lelaki seperti dia mengerti jerih payang orang yang mencintai. Kesetiaan yang mengalahkan penglihatan fisik.
Tidak seperti pasangan-pasangan lain, dalam angan kebanyakan orang, kami memang berbeda. Kesibukan Andy menafkahi keluarganya, membuat lelaki itu harus bekerja ekstra keras. Meskipun begitu, pertemuan kami rutin. Walaupun hanya sebentar sekali.
Di luar waktunya sebagai wartawan, lelaki itu menyempatkan diri menulis cerpen, puisi, resensi, opini, apa saja, untuk banyak media. Komputer, ia belum punya. Itulah mengapa Andy rajin berlama-lama di kantor.
Dan sebagai pasangan setia, aku harus mengerti.
Sosoknya yang pekerja keras, itu yang membuatku makin terpikat. Jatuh hati kian dalam. Lainnya?
“ Mas bisa mengetik di rumah. Kapan saja Mas mau. Tak usah sungkan.”
Minggu sore itu dengan baju kurung yang baru selesai dijahitkan Ibu semalam, kami berbincang sebentar di teras rumah. Tapi tawaranku yang tak sepenuhnya tulus, hanya karena ingin bersamanya lebih sering, ditolaknya halus.
“Jangan, Mia. Mas pulang dari kantor sudah malam. Tak enak sama orang tuamu.”
Kalimat tegasnya menunjukkan kemandirian, dan mental yang aji tak mumpung. Bukan tanpa alasan aku menawarinya mengetik, mengingat kami punya lebih dari enam komputer di rumah. Paviliun rumah memang sejak lama aku jadikan rental komputer dan warnet. Meski awalnya tak setuju karena orang tuaku berpikir kami tak kekurangan uang, toh rental yang aku kelola kemudian berjalan semakin baik. Uang mengalir, pelanggan puas. Di sisi lain, aku tak pernah lelah menanti Andy pulang. Tidak masalah apakah ia pulang lebih awal, seperti yang sesekali terjadi, atau bahkan menjelang pagi. Sosoknya yang kukuh dengan ransel hitam di punggungnya, tak pernah terlewat dari mataku.
“Aku ingin jadi istrimu, Mas.” Bisikku lagi.
Tahun kedua berlalu, dan waktu makin meluruhkan hatiku atas sosok keras bernama Andy. Lelaki tegap, dengan kulit kecoklatan yang baik hati dan perhatian.
“Pagi-pagi begini sudah buka”?
Aku mengangguk. Menyembunyikan debaran jantung yang gemuruh, dan napas yang tersenggal karena berlari dari kamar, hanya untuk mengejar bayangnya.
“Mas Andy pun sepagi ini sudah jalan? Biasanya jam tujuh seperempat, kan?”
Lelaki itu tertawa. Giginya yang kecil-kecil berbaris rapi. Memberikan pemandangan yang membuatku jatuh cinta, lagi dan lagi. Perasaan yang mambuatku seperti tak pernah merasa cukup mengambil kursus. Kemaren belajar masak, lalu bikin kue, kemudian menjahit, ahh apa lagi? Biarlah yang penting aku bisa membahagiakan Andy.
Di depanku lelaki pujaan itu masih tersenyum. Baru kemudian kusadari sesuatu yang membuatku tersipu. Apa kataku barusan? Tujuh seperempat? Ah, pengamatan yang sedetil itu, sungguh memalukan! Pikirku terlambat.
Tapi Andy menutup perasaanku yang tak karuan dengan senyum lebar, dan sebuah buku di tangannya.
“Untukmu, Mia. Belum terlalu lama terbit. Bagus sekali isinya tentang ………”.
Dan lelaki yang tadi berjalan tergesa-gesa, untuk sesaat seperti lupa bahwa ia sedang berburu waktu. Dengan antusias kedua tangannya bergerak-gerak, memberiku gambaran sepintas isi buku yang disodorkannya.
Wajahnya yang semangat.
Aku menatapnya, dengan perasaan terjerembab. Kagum dengan sosoknya yang cerdas, sekaligus merasa beruntung karena aku diberi kesempatan mencintainya.
Hari-hari kami sederhana namun indah. Ia membawakanku banyak buku, yang kubalas dengan setoples kue-kue buatanku sendiri. Begitu indahnya hingga tahun ketiga berlalu. Kemudian terlewat tahun keempat. Selama itu, aku tak pernah lelah mengungkapkan dan menyatakan betapa ingin aku menjadi istrinya.
Andy tak pernah menjawab keinginanku. Aku menenangkan diri dengan berbagai pikiran positif. Barangkali kesibukan, mungkin ia belum merasa siap, ucapku menghibur hati, setiap kali perasaan ragu timbul,
Tapi kesabaran akan penantian, boleh jadi hanya milikku. Sebab Ibu kemudian seperti tak punya kerjaan lain, kecuali memburuku dengan kalimat itu.
“Menikahlah, Mia. Apalagi yang kau tunggu?”
Andy! Tak ada yang lain. Dan tak bisa yang lain!
Tahun berikutnya, Ayah ikut mendesakku.
“Anak Om Hidayat baik, Mia. Kehidupannya pun mapan. Dia direktur termudah, di perusahaan Om Hidayat.”
Aku tidak sedikitpun tertarik. Lelaki yang kaya karena cucuran harta orang tua, mana bisa memenangkan hatiku? Pikiranku terbawa pada Andy. Sosoknya, kerja kerasnya, peluh keringat yang tampak jelas masih menempel di dahinya, setiap melintasi jendela kamarku.
Anak Om Hidayat mungkin baik, tapi dia tidak seperti Andy.
Lalu calon-calon lain disodorkan. Tetapi setiap kali, kepalaku makin terlatih menggeleng dan melahirkan helaan napas putus asa dari Ayah.
Ibu mendekatiku dengan cara serupa. Menawarkan calon demi calon yang dirasanya pantas dan mengangkat martabat orang tua.
Tapi selalu saja kutemukan nilai minus pada mereka. Agung, tak pernah serius. Guruh terlalu adventurir buat seorang Mia yang pecinta rumah. Sementara Edi terlalu matematis.
Cuma Andy, yang cerdas dan memiliki sikap merakyat, yang merebut semua nilai plus, bahkan dalam kesederhanaannya.
Cuma Andy, yang membuatku tak sungkan. Merendahkan harga diri dengan berkali-kali mengungkapkan harapanku. Tak pernah bosan membisikkan kalimat itu.
         “Aku ingin menjadi istrimu.”
Namun seperti yang sudah-sudah, kalimatku hanya terbawa angin, dan menguap tanpa bekas. Andy, seperti tak menyediakan tempat, untuk sebuah pernikahan.
         “Cinta.”
         Suatu hari kudengar kalimat itu dari bibirnya. Jelas, tanpa keraguan.
         “Cinta harusnya saling mengerti, hanya dengan menatap. Bukan begitu Mia? Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih harus saling mengemis. Cinta ….. “
         Ia mendesah. Pandangannya nanar. Aku bisa merasakan kesedihan hatinya hari itu.
         Tapi cintaku tak berkata apa-apa lagi. Ia pergi setelah lebih dulu menyodorkan sebuah buku yang membuatku menangis berhari-hari. Sungguh belum pernah ada kisah asmara yang kubaca dan menorehkan begitu banyak kesedihan, setelah Romeo dan Juliet.
         “Bagus sekali, Mas. Mia sampai menangis dibuatnya.”
         Andy hanya tersenyum tipis. Tangannya yang kokoh menerima buku yang kukembalikan. Allah, begitu ingin aku bersandar dalam rengkuhannya.
         Tapi tangan itu selalu sopan, tak pernah menjamahku.
         “Cinta itu menghormati, Mia. Cinta tak saling memanfaatkan.”
         Aku mengangguk. Seperti biasa terbius oleh kata-kata Andy. Terpesona oleh akuratnya kata dan laku lelaki itu.
         Andy tak menyentuhku, bukan tak cinta. Justru karena ia cinta. Bukankah seperti katanya, cinta itu tak kurang ajar? Cinta itu menghormati?
         “Mas, aku ingin menjadi istrimu,” bisikanku mulai bercampur isak. Ah, betapa inginnya. Kenapa Andy tak bisa mengerti? Bukankah dua orang yang saling menyinta harusnya saling memahami, hanya dengan memandang?
         Lalu bertubi-tubi, kegembiraan yang menyedihkan itu datang.
         “Mbak Mia, maafkan Ita.”
         Aku mengangguk. Meski sesudahnya aku perlu berhari-hari untuk menumpahkan tangis dalam diam di bantalku.
         Lalu Risa, Nina, dan terakhir …
         “Mbak, Linda minta maaf.”
         Giliran adik bungsuku meminta. Aku mengangguk. Menahan air mata yang menggayut memberati mataku. Seharusnya aku bahagia, adik-adikku menamatkan kisah cinta mereka lebih dini.
         Pernikahan adik bungsuku dirayakan besar-besaran oleh kedua orang tua kami. Seolah Ibu dan Ayah telah letih, dan memutuskan tak perlu menyimpan sedikit pun tabungan untuk anak mereka yang sulung.
         Tapi tahun memang berlalu secepat malam tiba. Aku tak menyadari kapan Ibu dan Ayah mulai berhenti memintaku menikah. Yang kutahu tak ada lagi nama-nama yang mereka sodorkan padaku. Awalnya hal itu membuatku merasa bebas, ya… bebas menunggu Andy. Baru kemudian kusadari hatiku yang hempas, anehnya oleh sesuatu yang tak pernah berubah.
         Andy tak berubah sedikitpun. Masih seperti dulu. Pergi jam tujuh seperempat, dan pulang ketika malam tenggelam. Sosoknya pun masih sama, sabar, kuat dan perhatian.
         Aku pun tak pernah berubah. Masih menemani dengan setia. Berdandan rapi di pagi hari untuk melepasnya kekantor. Malamnya, menanti kepulangan lelaki itu meski hanya lewat gorden jendela kamarku.
         Tidak tahukah Andy bahwa kedua mataku ini hanya bisa terlelap setelah memastikan sosoknya yang gagah memasuki rumah?
         Tapi ketiadaan kemajuan dalam hubungan kami tidak membuatku berhenti meminta. Seperti juga malam itu.
         “Mas, aku ingin menjadi istrimu,” kataku pelan dengan air mata meleleh.
         Tapi Andy meski tetap ramah dan baik hati, seperti yang sudah-sudah tak juga menanggapi. Padahal kesabaranku, bakti dan kesetiaanku…. Lalu kue-kue yang selalu berganti resep setiap minggu?
         “Bikin kue apalagi sepagi ini, Mia?”
         Aku tak menjawab pertanyaan Ibu. Sudah pukul tujuh lewat sepuluh. Lima menit lagi Andy akan lewat, dan aku tak boleh terlambat.
         Kakiku bergegas ke pintu depan. Di tanganku, setoples kue coklat bertabur kismis, tampak manis dan menggoda.
         Bersyukurlah, dalam kesederhanaan. Dalam ketiadaan. Bersyukurlah dengan apa yang kita miliki.
         Andy sering mengulang-ulang kalimat itu. Mungkin maksudnya supaya aku tak lagi berulang-ulang mengucapkan kalimat itu, keinginanku untuk menjadi istrinya. Aku mengangguk. Melambaikan tangan pada Andy yang pagi itu melintas dengan banyak tas di tangan.
         Berikutnya adalah hari-hari yang tak kumengerti. Sebab Andy tak pernah kelihatan lagi. Ia lenyap dan dengan cepat kusadari ketika malam itu hingga adzan subuh bergema, aku tak melihat lelaki tercinta itu memasuki rumahnya.
         Perasaan panik serta merta melanda diriku. Ya Allah, sesuatu mestillah menimpa lelaki terkasih itu.
         Tapi, kecuali aku, seperti tak ada orang lain yang merasa kehilangan. Bahkan tidak Ayah dan Ibu, serta adik-adiknya yang enam orang itu.
         Aku mulai menangis. Selama beberapa hari, bahkan tak ada sesuap nasi pun yang bisa kutelan. Ketika sepekan lewat dan Andy tak juga kembali, aku menenggelamkan diri dalam kamar. Menguncinya dan tidak membiarkan siapapun mengusik kesedihaanku.
         Andy, sesuatu pasti terjadi pada dia! Batinku tak mungkin dibohongi. Keluarga Andy pastilah hanya menghibur ketika mengatakan  lelaki itu mendapatkan pekerjaan dengan gaji besar di luar negeri. Tidak mungkin Andy tak mengabarkan padaku informasi sepenting itu. Bukankah aku cintanya, seperti dia cintaku?
         Setiap hari, kuhabiskan waktu dengan meringkuk di kamar, sementara mataku terus terpaku, mengintip dari balik gorden, mencari-cari bayangan Andy yang bisa kapan saja datang, mungkin dalam keadaan terluka. Oh Tuhan!
         Kedua mataku terasa penat karena terlalu banyak menangis dan terjaga. Aku tak lagi ingat makan, mandi, bahkan tak peduli sama sekali dengan kelangsungan rental yang kurintis. Andy lebih penting dari itu semua!
         Ibu dan Ayah serta adik-adikku tentu saja terlihat sedih. Tapi mereka sama sekali tak paham apa yang kurasa. Gelombang kepedihan, perasaan hampa, seolah hampir seluruh nyawaku tercabut, membuatku tak memiliki keinginan melakukan apapun.
         Syukurnya, melewati tiga bulan dalam masa-masa berduka, setitik harapan muncul.
         Andy tak apa-apa. Perasaanku mengatakan dia masih hidup, dan bisa pulang kapan saja. Mungkin sebentar lagi.
         Lalu tubuhku dirasuki tenaga baru. Hari itu kuputuskan keluar kamar. Sinar matahari yang selama ini kumusuhi, segera saja menyipitkan mataku. Tapi kegembiraan meledak-ledak, mengalahkan semua keengganan.
         Cepat, seperti tak ingin kehilangan waktu, aku mengambil baju yang paling baik yang kupunya, lalu berlari ke kamar mandi. Menyeka tubuhku keras-keras dengan spon sabun, hingga bersih dan penuh dengan aroma harum sabun. Selepas mengenakan baju, kusemprotkan minyak wangi, lalu berhias secantik mungkin.
         Orang-orang yang tak mengerti mengatakan bedakku terlalu tebal. Aku hanya mencibir. Mereka tak memahami sosok istimewa yang kunanti.
         Tapi hari itu Andy belum pulang. Tak apa. Yang penting adalah aku selalu siap, jika ia sewaktu-waktu datang. Bajuku harus rapi, tubuhku harus wangi, rambutku harus selalu dikeramas tiap hari. Bedak, sedikit lipstik kucoretkan di bibirku yang akhir-akhir ini sering pecah-pecah. Aku tak ingin ada yang terlewat. Semua harus sempurna, ketika Andy  pulang nanti.
         Lelaki itu sudah pergi lama, ia pasti kangen padaku. Pada canda tawa kami, pada hubungan sederhana namun indah yang selama ini terjalin. Ia juga pasti rindu dengan kue-kueku. Ya Allah, sudah berapa lama aku tak lagi membuat kue-kue dan menaruhnya di toples, untuk Andy?
         Maka sejak hari itu, telah kutekadkan, supaya tak ada hari berlalu tanpa kue-kue baru yang kubikin. Bukankah sebentar lagi tahun baru tiba, dan Andy mungkin akan pulang?
         Ketika tahun baru lewat, dan aku menunggu Andy di depan pagar rumah kami hingga kedinginan, Ibu menyelimuti tubuhku yang mengigil dengan selimut. Tapi aku tetap menunggu.
         Mungkin Andy akan pulang ketika musim liburan. Mungkin bulan puasa tahun depan. Emmmm…tidak! Aku tersenyum. Andy akan pulang lebaran tahun depan, pasti!
         Pikiran itu membawa langkahku keruang dalam. Bukan ke kamar seperti harapan kedua orang tuaku. Pikiranku padat oleh banyaknya pekerjaan yang akan menungguku sampai Andy pulang nanti. Membuat kue-kue kesukaan lelaki tercinta itu. Juga baju baru. Sambil tanganku sibuk mengaduk adonan tepung terigu bercampur gula, keju dan entah apa lagi, pikiranku mengembara. Mengenang Andy. Betapa rindunya.
         Besok dan besoknya lagi, kesibukan yang sama menungguku. Kue-kue dan jahitan baju baru. Setiap hari. Aku ingin siap ketika Andy pulang. Aku ingin rapi, ingin cantik.
         Sedikitpun tak ada kesangsian akan kesetiaan Andy padaku. Meski terdengar kabar Andy telah menikah, atau Andy sudah betah di luar negeri dan tak ingin kembali, aku tak pernah percaya.
         Suatu hari Andy akan pulang dan memenuhi permintaanku untuk menjadi istrinya. Seperti yang selama ini selalu kubisikkan dalam hatiku menjelang tidur.
         “Mas, aku ingin menjadi istrimu.”
         Dan aku tahu, Andy mengerti perasaanku sepenuhnya. Permintaanku.
         Sebab cinta harusnya saling mengerti, hanya dengan memandang. ( Bukan begitu, Mia? ) Cinta, harusnya tak perlu membuat dua orang kekasih saling mengemis. Cinta ……. 

Taken from Aku Ingin Menjadi Istrimu by Pipit Senja

Selasa, 21 Desember 2010

ROBOHNYA SURAU KAMI



Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.
Dan di pelataran kiri surau itu akan Tuan temui seorang tua yang biasanya duduk di sana dengansegala tingkah ketuaannya dan ketaatannya beribadat. Sudah bertahun-tahun ia sebagai garin, penjaga surau itu. Orang-orang memanggilnya Kakek.
Sebagai penjaga surau, Kakek tidak mendapat apa-apa. Ia hidup dari sedekah yang dipungutnya sekali se-Jumat. Sekali enam bulan ia mendapat seperempat dari hasil pemungutan ikan mas dari kolam itu. Dan sekali setahun orang-orang mengantarkan fitrah Id kepadanya. Tapi sebagai garin ia tak begitu dikenal. Ia lebih di kenal sebagai pengasah pisau. Karena ia begitu mahir dengan pekerjaannya itu. Orang-orang suka minta tolong kepadanya, sedang ia tak pernah minta imbalan apa-apa. Orang-orang perempuan yang minta tolong mengasahkan pisau atau gunting, memberinya sambal sebagai imbalan. Orang laki-laki yang minta tolong, memberinya imbalan rokok, kadang-kadang uang. Tapi yang paling sering diterimanya ialah ucapan terima kasihdan sedikit senyum.
Tapi kakek ini sudah tidak ada lagi sekarang. Ia sudah meninggal. Dan tinggallah surau itu tanpa penjaganya. Hingga anak-anak menggunakannya sebagai tempat bermain, memainkan segala apa yang disukai mereka. Perempuan yang kehabisan kayu bakar, sering suka mencopoti papan dinding atau lantai di malam hari.
Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.
Dan biang keladi dari kerobohan ini ialah sebuah dongengan yang tak dapat disangkal kebenarannya. Beginilah kisahnya.
Sekali hari aku datang pula mengupah Kakek. Biasanya Kakek gembira menerimaku, karena aku suka memberinya uang. Tapi sekali ini Kakek begitu muram. Di sudut benar ia duduk dengan lututnya menegak menopang tangan dan dagunya. Pandangannya sayu ke depan, seolah-olah ada sesuatu yang yang mengamuk pikirannya. Sebuah belek susu yang berisi minyak kelapa, sebuah asahan halus, kulit sol panjang, dan pisau cukur tua berserakan di sekitar kaki Kakek. Tidak pernah aku melihat Kakek begitu durja dan belum pernah salamku tak disahutinya seperti saat itu. Kemudian aku duduk disampingnya dan aku jamah pisau itu. Dan aku tanya Kakek, "Pisau siapa, Kek?"
"Ajo Sidi."
"Ajo Sidi?"
Kakek tak menyahut. Maka aku ingat Ajo Sidi, si pembual itu. Sudah lama aku tak ketemu dia. Dan aku ingin ketemu dia lagi. Aku senang mendengar bualannya. Ajo Sidi bisa mengikat orang-orang dengan bualannya yang aneh-aneh sepanjang hari. Tapi ini jarang terjadi karena ia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Sebagai pembual, sukses terbesar baginya ialah karena semua pelaku-pelaku yang diceritakannya menjadi model orang untuk diejek dan ceritanya menjadi pameo
akhirnya. Ada-ada saja orang-orang di sekitar kampungku yang cocok dengan watak pelaku-pelaku ceritanya. Ketika sekali ia menceritakan bagaimana sifat seekor katak, dan kebetulan ada pula seorang yang ketagihan menjadi pemimpin berkelakuan seperti katak itu, maka untuk selanjutnya pimpinan tersebut kami sebut pimpinan katak.
Tiba-tiba aku ingat lagi pada Kakek dan kedatangan Ajo Sidi kepadanya. Apakah Ajo Sidi telah membuat bualan tentang Kakek? Dan bualan itukah yang mendurjakan Kakek? Aku ingin tahu. Lalu aku tanya Kakek lagi. "Apa ceritanya, Kek?"
"Siapa?"
"Ajo Sidi."
"Kurang ajar dia," Kakek menjawab.
"Kenapa?"
"Mudah-mudahan pisau cukur ini, yang kuasah tajam-tajam ini, menggoroh tenggorokannya."
"Kakek marah?"
"Marah? Ya, kalau aku masih muda, tapi aku sudah tua. Orang tua menahan ragam. Sudah lama aku tak marah-marah lagi. Takut aku kalau imanku rusak karenanya, ibadatku rusak karenanya. Sudah begitu lama aku berbuat baik, beribadat, bertawakal kepada Tuhan. Sudah begitu lama aku menyerahkan diri kepada-Nya. Dan Tuhan akan mengasihi orang yang sabar dan tawakal."
Ingin tahuku dengan cerita Ajo Sidi yang memurungkan Kakek jadi memuncak. Aku tanya lagi Kakek, "Bagaimana katanya, Kek?"
Tapi Kakek diam saja. Berat hatinya bercerita barangkali. Karena aku telah berulang-ulang bertanya, lalu ia yang bertanya padaku, "Kau kenal padaku, bukan? Sedari kau kecil aku sudah disini. Sedari mudaku, bukan? Kau tahu apa yang kulakukan semua, bukan? Terkutukkah perbuatanku? Dikutuki Tuhankah semua pekerjaanku?"
Tapi aku tak perlu menjawabnya lagi. Sebab aku tahu, kalau Kakek sudah membuka mulutnya, dia takkan diam lagi. Aku biarkan Kakek dengan pertanyaannya sendiri.
"Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri. Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah. Segala kehidupanku, lahir batin, kuserahkan kepada Allah Subhanahu wataala. Tak pernah aku menyusahkan orang lain. Lalat seekor enggan aku membunuhnya. Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya. Alhamdulillah kataku bila aku menerima karunia-Nya. Astagfirullah kataku bila aku terkejut. Masya Allah kataku bila aku kagum. Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk."
Ketika Kakek terdiam agak lama, aku menyelakan tanyaku, "Ia katakan Kakek begitu, Kek?"
"Ia tak mengatakan aku terkutuk. Tapi begitulah kira-kiranya."
Dan aku melihat mata Kakek berlinang. Aku jadi belas kepadanya. Dalam hatiku aku mengumpati Ajo Sidi yang begitu memukuli hati Kakek. Dan ingin tahuku menjadikan aku nyinyir bertanya. Dan akhirnya Kakek bercerita lagi.
"Pada suatu waktu, ‘kata Ajo Sidi memulai, ‘di akhirat Tuhan Allah memeriksa orang-orang yang sudah berpulang. Para malaikat bertugas di samping-Nya. Di tangan mereka tergenggam daftar dosa dan pahala manusia. Begitu banyak orang yang diperiksa. Maklumlah dimana-mana ada perang. Dan di antara orang-orang yang diperiksa itu ada seorang yang di dunia di namai Haji Saleh. Haji Saleh itu tersenyum-senyum saja, karena ia sudah begitu yakin akan di masukkan ke dalam surga. Kedua tangannya ditopangkan di pinggang sambil membusungkan dada dan menekurkan kepala ke kuduk. Ketika dilihatnya orang-orang yang masuk neraka, bibirnya menyunggingkan senyum ejekan. Dan ketika ia melihat orang yang masuk ke surga, ia melambaikan tangannya, seolah hendak mengatakan ‘selamat ketemu nanti’. Bagai tak habis-habisnya orang yang berantri begitu panjangnya. Susut di muka, bertambah yang di belakang. Dan Tuhan memeriksa dengan segala sifat-Nya.
Akhirnya sampailah giliran Haji Saleh. Sambil tersenyum bangga ia menyembah Tuhan. Lalu Tuhan mengajukan pertanyaan pertama.
‘Engkau?’
‘Aku Saleh. Tapi karena aku sudah ke Mekah, Haji Saleh namaku.’
‘Aku tidak tanya nama. Nama bagiku, tak perlu. Nama hanya buat engkau di dunia.’
‘Ya, Tuhanku.’
‘apa kerjamu di dunia?’
‘Aku menyembah Engkau selalu, Tuhanku.’
‘Lain?’
‘Setiap hari, setiap malam. Bahkan setiap masa aku menyebut-nyebut nama-Mu.’
‘Lain.’
‘Ya, Tuhanku, tak ada pekerjaanku selain daripada beribadat menyembah-Mu, menyebut-nyebut nama-Mu. Bahkan dalam kasih-Mu, ketika aku sakit, nama-Mu menjadi buah bibirku juga. Dan aku selalu berdoa, mendoakan kemurahan hati-Mu untuk menginsafkan umat-Mu.’
‘Lain?’
Haji Saleh tak dapat menjawab lagi. Ia telah menceritakan segala yang ia kerjakan. Tapi ia insaf, pertanyaan Tuhan bukan asal bertanya saja, tentu ada lagi yang belum di katakannya. Tapi menurut pendapatnya, ia telah menceritakan segalanya. Ia tak tahu lagi apa yang harus dikatakannya. Ia termenung dan menekurkan kepalanya. Api neraka tiba-tiba menghawakan kehangatannya ke tubuh Haji Saleh. Dan ia menangis. Tapi setiap air matanya mengalir, diisap
kering oleh hawa panas neraka itu.
‘Lain lagi?’ tanya Tuhan.
‘Sudah hamba-Mu ceritakan semuanya, o, Tuhan yang Mahabesar, lagi Pengasih dan Penyayang, Adil dan Maha Tahu.’ Haji Saleh yang sudah kuyu mencobakan siasat merendahkan diri dan memuji Tuhan dengan pengharapan semoga Tuhan bisa berbuat lembut terhadapnya dan tidak salah tanya kepadanya.
Tapi Tuhan bertanya lagi: ‘Tak ada lagi?’
‘O, o, ooo, anu Tuhanku. Aku selalu membaca Kitab-Mu.’
‘Lain?’
‘Sudah kuceritakan semuanya, o, Tuhanku. Tapi kalau ada yang lupa aku katakan, aku pun bersyukur karena Engkaulah Mahatahu.’
‘Sungguh tidak ada lagi yang kaukerjakan di dunia selain yang kauceritakan tadi?’
‘Ya, itulah semuanya, Tuhanku.’
‘Masuk kamu.’
Dan malaikat dengan sigapnya menjewer Haji Saleh ke neraka. Haji Saleh tidak mengerti kenapa ia di bawa ke neraka. Ia tak mengerti apa yang di kehendaki Tuhan daripadanya dan ia percaya Tuhan tidak silap.
Alangkah tercengang Haji Saleh, karena di neraka itu banyak teman-temannya di dunia terpanggang hangus, merintih kesakitan. Dan ia tambah tak mengerti dengan keadaan dirinya, karena semua orang yang dilihatnya di neraka itu tak kurang ibadatnya dari dia sendiri. Bahkan ada salah seorang yang telah sampai empat belas kali ke Mekah dan bergelar syekh pula. Lalu Haji Saleh mendekati mereka, dan bertanya kenapa mereka dinerakakan semuanya. Tapi
sebagaimana Haji Saleh, orang-orang itu pun, tak mengerti juga.
‘Bagaimana Tuhan kita ini?’ kata Haji Saleh kemudian, ‘Bukankah kita di suruh-Nya taat beribadat, teguh beriman? Dan itu semua sudah kita kerjakan selama hidup kita. Tapi kini kita dimasukkan-
Nya ke neraka.’
‘Ya, kami juga heran. Tengoklah itu orang-orang senegeri dengan kita semua, dan tak kurang ketaatannya beribadat,’ kata salah seorang diantaranya.
‘Ini sungguh tidak adil.’
‘Memang tidak adil,’ kata orang-orang itu mengulangi ucapan Haji Saleh.
‘Kalau begitu, kita harus minta kesaksian atas kesalahan kita.’
‘Kita harus mengingatkan Tuhan, kalau-kalau Ia silap memasukkan kita ke neraka ini.’
‘Benar. Benar. Benar.’ Sorakan yang lain membenarkan Haji Saleh.
 ‘Kalau Tuhan tak mau mengakui kesilapan-Nya, bagaimana?’ suatu suara melengking di dalam kelompok orang banyak itu.
‘Kita protes. Kita resolusikan,’ kata Haji Saleh.
‘Apa kita revolusikan juga?’ tanya suara yang lain, yang rupanya di dunia menjadi pemimpin gerakan revolusioner.
‘Itu tergantung kepada keadaan,’ kata Haji Saleh. ‘Yang penting sekarang, mari kita berdemonstrasi menghadap Tuhan.’
‘Cocok sekali. Di dunia dulu dengan demonstrasi saja, banyak yang kita perolah,’ sebuah suara menyela.
‘Setuju. Setuju. Setuju.’ Mereka bersorak beramai-ramai.
Lalu mereka berangkatlah bersama-sama menghadap Tuhan.
Dan Tuhan bertanya, ‘Kalian mau apa?’
Haji Saleh yang menjadi pemimpin dan juru bicara tampil ke depan. Dan dengan suara yang menggeletar dan berirama rendah, ia memulai pidatonya: ‘O, Tuhan kami yang Mahabesar. Kami yang menghadap-Mu ini adalah umat-Mu yang paling taat beribadat, yang paling taat menyembahmu. Kamilah orang-orang yang selalu menyebut nama-Mu, memuji-muji kebesaran-Mu, mempropagandakan keadilan-Mu, dan lain-lainnya. Kitab-Mu kami hafal di luar kepala kami. Tak sesat sedikitpun kami membacanya. Akan tetapi, Tuhanku yang Mahakuasa setelah kami Engkau panggil kemari, Engkau memasukkan kami ke neraka. Maka sebelum terjadi hal-hal yang tak diingini, maka di sini, atas nama orang-orang yang cinta pada-Mu, kami menuntut agar hukuman yang Kaujatuhkan kepada kami ditinjau kembali dan memasukkan ke surga sebagaimana yang Engkau janjikan dalam Kitab-Mu.’
‘Kalian di dunia tinggal di mana?’ tanya Tuhan.
‘Kami ini adalah umat-Mu yang tinggal di Indonesia, Tuhanku.’
‘O, di negeri yang tanahnya subur itu?’
‘Ya, benarlah itu, Tuhanku.’
‘Tanahnya yang mahakaya raya, penuh oleh logam, minyak, dan berbagai bahan tambang lainnya, bukan?’
‘Benar. Benar. Benar. Tuhan kami. Itulah negeri kami.’ Mereka mulai menjawab serentak. Karena fajar kegembiraan telah membayang di wajahnya kembali. Dan yakinlah mereka sekarang, bahwa Tuhan telah silap menjatuhkan hukuman kepada mereka itu.
‘Di negeri mana tanahnya begitu subur, sehingga tanaman tumbuh tanpa di tanam?’
‘Benar. Benar. Benar. Itulah negeri kami.’
‘Di negeri, di mana penduduknya sendiri melarat?’
‘Ya. Ya. Ya. Itulah dia negeri kami.’
‘Negeri yang lama diperbudak negeri lain?’
‘Ya, Tuhanku. Sungguh laknat penjajah itu, Tuhanku.’
‘Dan hasil tanahmu, mereka yang mengeruknya, dan diangkut ke negerinya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Hingga kami tak mendapat apa-apa lagi. Sungguh laknat mereka itu.’
‘Di negeri yang selalu kacau itu, hingga kamu dengan kamu selalu berkelahi, sedang hasil tanahmu orang lain juga yang mengambilnya, bukan?’
‘Benar, Tuhanku. Tapi bagi kami soal harta benda itu kami tak mau tahu. Yang penting bagi kami ialah menyembah dan memuji Engkau.’
‘Engkau rela tetap melarat, bukan?’
‘Benar. Kami rela sekali, Tuhanku.’
‘Karena keralaanmu itu, anak cucumu tetap juga melarat, bukan?’
‘Sungguhpun anak cucu kami itu melarat, tapi mereka semua pintar mengaji. Kitab-Mu mereka hafal di luar kepala.’
‘Tapi seperti kamu juga, apa yang disebutnya tidak di masukkan ke hatinya, bukan?’
‘Ada, Tuhanku.’
‘Kalau ada, kenapa engkau biarkan dirimu melarat, hingga anak cucumu teraniaya semua. Sedang harta bendamu kaubiarkan orang lain mengambilnya untuk anak cucu mereka. Dan engkau lebih suka berkelahi antara kamu sendiri, saling menipu, saling memeras. Aku beri kau negeri yang kaya raya, tapi kau malas. Kau lebih suka beribadat saja, karena beribadat tidak mengeluarkan peluh,
tidak membanting tulang. Sedang aku menyuruh engkau semuanya beramal kalau engkau miskin. Engkau kira aku ini suka pujian, mabuk di sembah saja. Tidak. Kamu semua mesti masuk neraka. Hai, Malaikat, halaulah mereka ini kembali ke neraka. Letakkan di keraknya!"
Semua menjadi pucat pasi tak berani berkata apa-apa lagi. Tahulah mereka sekarang apa jalan yang diridai Allah di dunia. Tapi Haji Saleh ingin juga kepastian apakah yang akan di kerjakannya di dunia itu salah atau benar. Tapi ia tak berani bertanya kepada Tuhan. Ia bertanya saja pada malaikat yang menggiring mereka itu.
‘Salahkah menurut pendapatmu, kalau kami, menyembah Tuhan di dunia?’ tanya Haji Saleh.
‘Tidak. Kesalahan engkau, karena engkau terlalu mementingkan dirimu sendiri. Kau takut masuk neraka, karena itu kau taat sembahyang. Tapi engkau melupakan kehidupan kaummu sendiri, melupakan kehidupan anak isterimu sendiri, sehingga mereka itu kucar-kacir selamanya. Inilah kesalahanmu yang terbesar, terlalu egoistis. Padahal engkau di dunia berkaum, bersaudara
semuanya, tapi engkau tak mempedulikan mereka sedikit pun.’
Demikianlah cerita Ajo Sidi yang kudengar dari Kakek. Cerita yang memurungkan Kakek.
Dan besoknya, ketika aku mau turun rumah pagi-pagi, istriku berkata apa aku tak pergi menjenguk.
"Siapa yang meninggal?" tanyaku kaget.
"Kakek."
"Kakek?"
"Ya. Tadi subuh Kakek kedapatan mati di suraunya dalam keadaan yang mengerikan sekali. Ia menggoroh lehernya dengan pisau cukur."
"Astaga! Ajo Sidi punya gara-gara," kataku seraya cepat-cepat meninggalkan istriku yang tercengang-cengang.
Aku cari Ajo Sidi ke rumahnya. Tapi aku berjumpa dengan istrinya saja. Lalu aku tanya dia.
"Ia sudah pergi," jawab istri Ajo Sidi.
"Tidak ia tahu Kakek meninggal?"
"Sudah. Dan ia meninggalkan pesan agar dibelikan kain kafan buat Kakek tujuh lapis."
"Dan sekarang," tanyaku kehilangan akal sungguh mendengar segala peristiwa oleh perbuatan Ajo Sidi yang tidak sedikit pun bertanggung jawab, "dan sekarang kemana dia?"
"Kerja."
"Kerja?" tanyaku mengulangi hampa.
"Ya, dia pergi kerja."


*taken from ROBOHNYA SURAU KAMI oleh A.A Navis*